Kreativitas Bung Djaduk

Nama Djaduk Ferianto langsung mengingatkan pada musik dan kebudayaan. Kreativitasnya dalam dunia musik dan teater tidak diragukan lagi. Kelompok Kua Etnika dan Orkes Keroncong Sinten Remen tidak terlepas dari campur tangannya, dan pada sisi ini eksistensi Djaduk semakin dikukuhkan. Popularitas Djaduk Ferianto (44 tahun) tidak dibatasi oleh grup musik yang ia pimpin, namum jauh melampauinya. Keterlibatan mas Djaduk sebagai salah satu Juri dalam Akademi Fantasi Indonesia (AFI), juga dalam mendesain acara Pasar Rakyat menjadi poin tersendiri.
Ketika dihubungi oleh Tjroeng, Mas Djaduk memberikan beberapa respons yang luar biasa sehubungan dengan perkembangan musik keroncong di Indonesia. “Latar Belakang saya menggeluti keroncong, ya karena Keroncong adalah salah satu aset yang kita punya, saya ingin mencoba mengembalikan keroncong pada publiknya yang terkini. Artinya waktu telah berjalan, masyarakat juga berkembang,kita harus cepat tanggap dan harus kita olah tidak meninggalkan spriritnya . Produk seni bisa hidup karena didukung oleh masyarakatnya,” jelasnya..
Musik keroncong di tangan lelaki berewok yang juga aktif dalam penolakan RUU Pornografi terasa sangat berbeda dengan musik keroncong pada umumnya. Bersama kawan-kawannya di OK Sinten Remen, keroncong menjadi sangat dinamik dan kaya.
”Musik keroncong saya itu kelihatan modern pada saat ini,besok pasti gak modern juga to. Yang modern itu pikirannya bukan fisiknya. Urusan pakem dan tidak pakem itu bukan urusan saya. Karena saya masih manusia punya hak untuk berbuat syukur-syukur bisa mengembangkan. Kan yang bikin nilai-nilai tadi juga manusia to……jadi syah. Haa….ha…ha kan nggak ada UU nya orang bikin musik keroncong harus seperti yang mereka ugemi. Itu yang menjadikan ruang gerak kita sempit,” tegasnya menyikapi nasib keroncong yang miskin akan kreativitas.
Bebaslah berekspresi jangan takut …
Dibandingkan musik-musik lain, seperti Dangdut, Rock dan Pop, musik Keroncong nampaknya tertinggal jauh, terutama sekali bila dilihat dengan kacamata industri musik. Pada sisi ini, langkah yang diambil lelaki yang bertubuh cukup subur ini adalah berbuat semaksimal mungkin, selalu berkarya sebanyak mungkin. ” Berbuat semaksimal mungkin. Indrustri musik itu dikuasai sama pemilik modal, nah kita ini modalnya hanya semangat……ya sudah berjalan terus dan bekerja dengan jujur.”
Pada titik ini nampaknya industri musik jauh, meninggalkan keroncong di belakang. Tuntutan kreativitas dan menyikapi jaman secara lebih spontan nampaknya jauh dalam tema musik keroncong itu sendiri, sehingga nampak jelas bahwa musik keroncong masih terpaku pada musik yang nostalgic dan kurang bisa merespons perubahan jaman secara cepat. Gairah baru dalam dunia keroncong perlu dikembangkan.
Kegundahan hati Djaduk Ferianto terhadap musik keroncong sangat terasa. Dalam hal kehidupan seniman keroncong yang hidup di jalanan lewat ngamen atau pun pentas dari panggung ke panggung, meski hal ini secara riil mampu mengisi perut si seniman, namun hal itu nasibnya keroncong banget.
” Jangan diukur semacam itu, justru penilain semacam itu persis nasibnya keroncong banget. Mati tapi tak mau dibilang mati, sangat PeDe ( percaya diri ). Yang dianggap mati itu kreativitasnya. Tak ada usaha dan perkembangan yang signifikan. Kalaupun masih terdengar di jalanan itu kan masih sebatas memainkan repertoar lama, tidak ada yang baru.”
Hal paling dominan dan determinan yang menyebabkan keroncong tertatih-tatih dalam bersaing dengan musik-musik lain, menurut Djaduk adalah “ Kurang sigap dan cekatan untuk menanggapi perubahan yang sangat dahsyat ini. Maka dibutuhkan Syair dan Thema dah lumayan, tapi ruang gerak anda masih terkungkung dengan format itu sendiri. Bebaslah berekspresi jangan takut mas……jo sopan-sopan, Wong yang kita anggap sopan aja perilakunya gak sopan-sopan amat ha….ha….ha. Kreativitas.” katanya sambil menutup pembicaraan. (mboets)