SRI WIDADI MENGALIR BERSAMA KERONCONG

Seperti udara, keroncong menghidupinya. Layaknya kekasih, ia cintai iramanya sepenuh hati. Jiwanya melebur dalam setiap langgam yang ia nyanyikan. Katanya, keroncong dan anak-anak adalah dua sumber bahagia yang selalu menyediakan oksigen untuk terus bernapas. Membuatnya tak gentar menjalani hidup.

Nama Sri Widadi lebih lekat dengan keroncong meski ia juga cukup sempat menjejakkan kaki di kancah musik pop. Namanya bersanding dengan nama-nama besar penyanyi era ?70an seperti Toto Salmon, Dedy Damhudi, Ida Rasyid. Namanya tak juga tenggelam kala nama baru di ranah keroncong seperti Tuti Maryati dan Sundari Sukoco muncul. Karier musiknya mungkin tak melesat seperti meteor, tapi bertahan konstan dan berjalan stabil mengikuti perubahan. Hidup pun ia jalani layaknya menyanyikan sebuah langgam mendayu. Pelan namun pasti.

Debutnya Acara Selamatan Bayi

Keroncong memang nafas hidup wanita kelahiran Solo ini. Sejak kecil, musik ini telah mengakrabi hari-harinya. Ayahnya adalah seorang pemain melodi grup keroncong yang rutin berpentas di acara-acara hajatan di Solo dan sekitarnya. “Saya rajin ikut ayah manggung. Biasanya kami pergi naik sepeda yang dikendarai ayah. Saya anteng duduk di boncengan dan gembira menikmati perjalanan,” kenangnya. Sri kecil kerap menemani ayahnya berpentas. Ia senang dengan keramaian yang terjadi di sekelilingnya dan tentu saja lantunan lagu keroncong yang dimainkan ayah dan kawan-kawannya.

Kebiasaan itu lantas membuat Sri akrab dan hafal beberapa lagu keroncong. Tapi berbeda dengan anak-anak sekarang yang sengaja ikut berbagai kompetisi untuk jadi penyanyi dengan dandanan heboh, kelahiran 1951 ini justru tidak diplot untuk jadi penyanyi. Nyatanya, arus hidup menyeretnya masuk ke kancah musik keroncong. Debut pertamanya adalah acara selamatan Bayi di daerah Delanggu pada 1958. Kala itu, Sri masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. “Suatu hari saya ikut ayah manggung bersama grupnya yang bermana Keroncong Petir. Kebetulan penyanyinya hanya satu. Lalu ayah menyuruh saya menyanyi. Sejak itu, saya selalu tampil bersama ayah,” kisahnya.

Maka Sri pun mengawali babak baru dalam kegiatan bermusik bersama sang ayah. Ia tak lagi hanya jadi penonton, “Lumayan, honornya bisa jadi tambahan uang saku sekolah.” Sri masih dapat mengingat dengan jelas suasana panggung kala itu. “Karena belum ada listrik, listrik untuk pengeras suaranya dihasilkan dari aki dan speakernya besar sekali,” katanya sambil tertawa. Dengan tekun, ia jalani hari-hari menjadi penyanyi hajatan. Kualitas suara dan kemampuannya berinteraksi di atas panggung makin terasah seiring berjalannya waktu. Karir bernyanyinya terus berjalan ketika ia menikah dengan seorang wartawan dan memiliki tiga orang anak.

Selain tampil di berbagai acara, Sri juga rajin ikut berbagai perlombaan nyanyi yang kala itu marak seperti Lomba Pop Singer serta Bintang Radio dan Televisi. “Saya mulai sering ikut lomba-lomba sejak 1967. Baru pada 1972 saya berhasil merebut juara pertama Pop Singer di Solo”.  Karirnya makin bersinar. Pada 1973, ia pindah ke Surabaya dan mendapat kontrak sebagai penyanyi di night club LCC milik ayah Hayono Isman. “Dulu, night club jadi tempat bergengsi untuk menjajal kualitas bermusik. Mereka memilih penyanyi dengan sangat selektif dan penyanyi yang bias masuk di night club besar seperti LCC biasanya punya kualitas yang baik. Hampir semua penyanyi tenar kala itu pasti berangkat dari night club. Mungkin kalau sekarang night club itu sama seperti kafe-kafe,” jelasnya.

Dari Hajatan ke Perlombaan

Titik balik karir Sri Widadi terjadi di sini. Selain bernyanyi rutin di LCC, ia juga makin rajin ikut berbagai kompetisi yang membuat namanya makin dikenal. Tak hanya keroncong, ia juga memenangi berbagai kompetisi bergenre pop. Pada 1974, ia memenangi lomba Pop Singer se-kota Surabaya dan kemudian tingkat propinsi Jawa Timur. Ia kemudian ke Jakarta untuk mengikuti lomba final di tingkat nasional dan berhasil merebut juara kelima. Perjalanan hidupnya ternyata mengikat janji dengan Jakarta. Sebab langkahnya lantas berbelok ke Ibukota.

Ia pindah ke LCC Jakarta yang terletak di bilangan Monas. “Di LCC saya lebih banyak menyanyi pop. Saya juga punya album lagu pop, lho! Perusaha rekamannya bernama Ramayana,” kenangnya. Ia menyanyikan lagu Layu Sebelum Berkembang dalam bahasa Jawa yang cukup laris manis di pasaran dan cukup meledak di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Suriname. Nama Sri Widadi makin melambung. Pertengahan decade 70an, namanya makin ajeg di kancah musik Indonesia, khususnya keroncong. Ia kerap tampil bersama penyanyi tenar lain seperti Toto Salmon, menyanyikan lagu-lagu Maladi dan Toto Salmon sendiri.

Sri mengaku sempat menikmati masa kejayaan sebagai penyanyi. “Tapi dunia hiburan pada masa itu jauh berbeda dengan dunia hiburan sekarang. Artis hidupnya ya sederhana saja. Beda dengan sekarang. Artis pendatang baru saja sudah jadi selebriti,” katanya sambil tertawa. Hidup, meski manis ia rasakan kadang-kadang juga menyuguhkan kegetiran. Pernikahan dengan suami pertamanya kandas dan ia menjadi orang tua tunggal bagi ketiga anaknya. “Beruntung saya bisa nyanyi. Dari situ saya bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak,” katanya. Ia sempat menikah lagi dan mempunyai seorang anak dari pernikahan keduanya. “Tapi ya hubungannya juga tidak terlalu baik. Meski tidak resmi bercerai, kami tidak lagi hidup bersama,” kisah Sri yang tak mau bercerita banyak tentang pernikahan keduanya. Kesetiaanya pada keroncong tak pupus kendati musik ini tak menghadiahinya kehidupan glamor. “Saya mengalami banyak musim dalam hidup. Ada musim pasang juga surut. Hampir semuanya saya lalui bersama keroncong,” ungkap wanita yang berulang tahun pada 8 Agustus ini.

Bergulir Bersama Hidup

Selain sang ayah, Sri menyebut satu nama yang ia anggap sangat berjasa bagi perkembangan musikalitasnya. “Pak Budiman dari Orkes Keroncong(OK) Bintang Jakarta. Kalau tidak dididik dia, mungkin kemampuan menyanyi keroncong saya tidak terasah dengan baik,” katanya. Selain itu, Sri menyebut Toto Salmon sebagai partner yang memperluasa jangkauan musiknya. “Dia yang mengajak saya rekaman album. Kami pernah rekaman di Musica dan Dian,” katanya. Sri mengaku meski namanya cukup terkenal, ia sendiri hidup sederhana. “Ya itu tadi, kalau dulu dunia hiburan tidak seperti sekarang. Bayarannya kecil dan kalau rekaman nilai kontraknya juga tidak terlalu besar,” kisahnya. Sebagai seorang penyanyi yang cukup terkenal, hidupnya tetap bergulir layaknya roda pedati,” Kadang di atas, kadang di bawah dan saya sudah terlatih untuk berdamai dengan hidup.”

Sri bercerita, ada suatu masa dalam karir musiknya, ketika uang bukan masalah baginya. Ia yang orang tua tunggal bisa memenuhi kebutuhan keluarga dengan baik. “Dulu, pejabat-pejabat itu langganan night club seperti LCC. Mereka datang benar-benar untuk menikmati dan mengapresiasi musik yang dimainkan.” Ia juga kerap muncul di TVRI dan membuat album bersama penyanyi lain seperti Dedy Damhudi dan Ida Rasyid. Honornya cukup tinggi untuk ukuran kala itu. “Dua ratus ribu itu sangat banyak,” katanya. Tapi waktu terus berjalan. Nama besarnya ia akui tidak berbanding lurus dengan pendapatannya. Terlebih, ketika televisi-televisi swasta mulai bermunculan, berebut pasar dengan mengusung eforia kehebatan generasi MTV, keroncong mulai terpinggirkan, goyah tergerus serbuan modernitas, ia pun ikut mengalami pasang surut. “Jadi meski saya sering tampil di TVRI, ya hidup saya biasa-biasa saja. Kedengarannya klise, tapi begitulah yang terjadi dan mungkin juga dialami penyanyi-penyanyi angkatan saya yang lain,” katanya. Maka hidup yang sesungguhnya pun harus ia jalani. Tapi karena keahliannya memang menyanyi, saya terus saja menyanyi. “Kalau dibilang penyanyi menjual suara untuk menghidupi anak-anaknya, itu tepat sekali menggambarkan saya,” katanya. suatu ketika, sebelum tinggal di rumahnya di Bekasi yang baru beberapa tahun dimiliki, ia dan anak-anaknya sempat berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. “Sempat juga diusir karena terlambat membayar,” kenangnya.

Namun alunan lembut keroncong yang mendayu, selalu bisa menyembuhkan keletihannya bergelut dengan hidup. Ia tetap setia berlatih keroncong agar selalu siap saat tawaran untuk menyanyi datang. Terbukti, di usia yang tidak lagi dikatakan muda, suaranya masih tetap renyah dan nikmat didengar. Seperti saat Sri tampil dalam acara Gebyar Keroncong yang diampu Tuti Maryati di TVRI beberapa waktu silam. Kebaya biru membalut tubuhnya. Sesekali tampak bibirnya menggumamkan doa saat menanti giliran menyanyi tiba. Meski terlihat grogi, ia toh tetap tenang dan mantap ketika berada di atas panggung. Gangguan pada kelenjar tiroid yang sempat menyerangnya pada 2007, tak merubah kualitas bernayinya. Suara Sri masih tetap merdu dan mantap mencapai nada-nada tinggi. Binar wajahnya begitu cemerlang dan tak sedikitpun membiaskan kegelisahan yang mungkin setia menemani hari-harinya. Tak terbersit tanda kalau ia pernah selalu gemetar seperti kedinginan saat gangguan kelenjar tiroid bermukim di tubuhnya. Hidupnya untuk keroncong dan anak-anaknya. Dua hal yang membuatnya tetap bahagia. (Nala Indira)

Please follow and like us:

5 thoughts on “SRI WIDADI MENGALIR BERSAMA KERONCONG

  • December 16, 2010 at 5:32 pm
    Permalink

    siapa sih anak ini, dikenal tapi riwayat hidupnya ngak ada

  • August 10, 2012 at 11:58 pm
    Permalink

    Dalam sebuah masa pasti pernah lahir satu satu bentuk karya abdi yang tidak akan ada lagi atau terulang kembali pada generasi2 sesudahnya.Kita hanya dapat menikmati karya2nya dan mengakui betapa jeniusnya itu.Kita pernah punya itu yaitu sebuah komposisi musik keroncong oleh Bintang Jakarta termasuk artisnya Mbak Sri Widadi.Seperti music klasik tak akan pernah bosan mendengarkan mereka memainkan komposisi indah luar biasa.Syukur pada Tuhan mereka pernah ada menyentuh kepekaan gendang telinga sampai ke dasar hati,menciptakan imajinasi surgawi di bumi Pertiwi.Proficiat sepanjang masa Bintang Jakarta!

  • December 20, 2012 at 12:04 am
    Permalink

    Tak ada sesuatupun yang pantas dan sebanding pernah diberikan pada apa yang sudah pernah beliau torehkan pada musik keroncong Indonesia.Keindahan olah vokalnya mampu menyentuh hati yang paling dalam.Seperti bukan dari dunia seperti datang dari sorga.Bahkan secara obyektif teman2 keroncong mengakuinya .Lepas dari apapun yg pernah beliau lakukan ataupun coment miring dari orang2 yang latah dialah yang terbaik dalam membawakan lagu2 keroncong.Bila musik keroncong mencapai angka tujuh tapi karena kehadiran beliau membuat nilai 10 alias sempurna.She is The Best!!!!!!!!!!

  • April 3, 2017 at 3:08 pm
    Permalink

    bernyani itu luar biasa dan bagaimana kesan anda selama membuat artikel ini kawan?

  • April 12, 2023 at 7:45 pm
    Permalink

    Suara Bu Sri WIdadi saya sangat suka. Suaranya merdu, “kempel”, dan “antep” yang membuat saya ingin mendengarkan lagi lagu-lagu beliau, sama seperti suara Mbak Puriandari. Ada “roh penghayatan” pada setiap kata yang dilagukan. Luar biasa. Selamat ya bu…atas perjuangannya hidup dan berkeroncong. Matur nuwun atas layanan hiburan dengan suara “emas”nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial