Keroncong Sepanjang Jalan

Tjroeng Ikut Menyanyi
Tjroeng Ikut Menyanyi

Jari-jari lincah memainkan cello, dan kepulan asap beraroma sate kambing. Jemari itu laksana kipas yang menerbangkan asap dan mewartakan kepada khalayak akan nikmatnya sate di salah satu pojok pasar Bali Mester, Jatinegara. Bagi para pecinta sate kambing-pun di saat menyantap potongan-potongan daging yang empuk terasa semakin nyaman dengan iringan musik keroncong yang dibawakan oleh Rajimun dan kawan-kawan. Menjadi pengamen tetap di depan warung sate sebelah polres Matraman telah dijalani selama lebih dari 20 tahun, dan dari sinilah kehidupan Rajimun ditopangkan.

Musik keroncong menjadi bagian keseharian seorang Rajimun, bersama istri dan kawan sekampungnya mereka membentuk group keroncong yang membawakan lagu-lagu yang telah ada. Dengan memainkan keroncong setiap hari dan mendapatkan rejeki darinya. Dari penghasilan itu, Rajimun dan keluarganya telah berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA, dan saat ini anak-anak mereka telah mandiri.

Kehidupan pemusik keroncong jalanan memberi warna tersendiri dalam kehidupan keroncong di Indonesia. Sebagai sebuah aktivitas, apa yang dilakukan memang memberi tekanan, bahwa dengan keroncong orang bisa hidup dan menggeliat. Bukti-bukti itu ternyata tersebar di banyak wilayah, dan semakin menguatkan bahwa keroncong masih memiliki pecinta.

Komunitas Taman Bungkul, Surabaya

Taman Bungkul merupakan kawasan taman rakyat yang selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat pada umumnya. Lokasinya yang sangat strategis itu menjadikan Taman Bungkul tidak pernah sepi dari aktivitas kesenian selain aktivitas ekonomi rakyat yang sehari-hari. Cangkrukan di Taman Bugkul dari berbagai kelompok kesenian kaum muda dari berbagai genre musik melahirkan berbagai aktivitas lain.

Dari keseharian aktivitas itu, kemudian lahir Komunitas Keroncong Taman Bungkul alias Komtas Tabung pada tahun 2004. Komunitas musik ini akhirnya bersepakat untuk membentuk komunitas keroncong setelah hadir Prayitno (tokoh keroncong Surabaya) yang bergabung dalam komunitas ini. Prayitno merupakan pimpinan OK. Melati yang pernah meraih juara II tingkat Nasional mewakili Jatim, dari beliau mereka belajar bagaimana memainkan musik keroncong.

OK Tabung

Jadual pementasan Komtas Tabung tidak setiap hari, Hari Kamis dimulai pukul 19:00 dan berakhir pukul 21:00, untuk hari Jumat dimulai pk. 19.00 WIB sampai 23.00, sementara hari Sabtu dan Minggu sejak pukul 19:00 sampai 24:00. Kegiatan ”makaryo” atau bekerja alias bermain musik ini untuk menghidupi mereka, dan dari total penghasilan harian mereka selalu dipotong 2% untuk kas bersama. Kas tersebut bisa digunakan untuk keperluan kalau ada anggotanya yang membutuhkan (semisal untuk biaya kalau ada yang sakit atau kebutuhan lain yang mendesak) dan atau juga untuk membeli serta memperbaiki instrumen keroncong.

Anak-anak muda itu mengatakan begitu karena belum tahu, belum menikmati betul-betul musik keroncong. Mereka belum mengalami sendiri bagaimana memainkan instrumen keroncong. Andaikan mereka diberi alatnya dan diajari cara memainkannya… wah pasti mereka suka! Ibarat makanan, mereka belum mencoba mencicipi makanan itu. Baru lihat saja. Padahal kalau sudah mencicipi pasti ketagihan. Witing tresna jalaran saka ngglibet begitu… Alat musik keroncong itu unik, beberapa harus dipetik satu-satu. Indah sekali,” papar Pras sang ketua Komtas Tabung menanggapi adanya pendapat mengenai anak muda yang alergi terhadap keroncong.

Dan dalam upaya semakin menggelorakan musik keroncong dalam kancah yang lebih luas, Komtas Tabung berencana membuat film indie bekerjasama dengan Universitas Dr. Sutomo, namun kendala finansial menjadi penghambat untuk merealisasikannya.

Keroncong yang tumbuh di jalanan

Bunyi ukulele (cuk) yang dimainkan oleh Ade di Terminal Bus Kebon Kelapa Bandung telah menghipnotis Lucky. Bunyi ukulele itu mengantarkan Lucky berkenalan dengan musik keroncong. Ade, salah satu putra Yusuf (violist OK Wulansari, Bogor) mengajak Lucky belajar keroncong kepada ayahnya di Bogor.

”Alunan keroncong begitu memikat, dan membuat saya tergerak mengajak kawan-kawan lain, yang kebanyakan pengamen jalanan untuk membentuk group keroncong,” jelas Lucky, pimpinan Little Keroncong sebuah group keroncong yang terdiri dari anak-anak muda.

Perjuangan menjadikan Little Keroncong exist di Bandung bukan persoalan mudah, ”Keinginan yang begitu besar untuk mempunyai alat-alat keroncong ternyata tidak diimbangi kemampuan finansial yang kami miliki. Proses pembelian alat-alat keroncong dilakukan dengan menyisihkan sebagian hasil mengamen. Setiap hari, kami menabung Rp. 1000,- (seribu rupiah). Dan setelah cukup lama, akhirnya kami bisa membeli alat-alat keroncong, itu pun bekas milik Pak Yusuf. Dan bisa jadi Little Keroncong adalah satu-satunya group keroncong komplit (biola, cak, cuk, cello, bas, dan guitar) yang mengamen di jalanan,” lanjutnya.

OK Little
OK Little

Proses kreatif Little Keroncong semakin lengkap ketika berkolaborasi dengan seniman Harry Roesli (alm) dalam pembukaan Cafe Cisangkuy. Kreativitas Little Keroncong ini membawanya masuk dalam acara Warna-Warni, sebuah acara Televisi Swasta. Dan saat ini, Little Keroncong semakin exist, laksana bunga yang tumbuh di jalanan, kini ia mekar tumbuh indah. (Mboets)

Please follow and like us:

One thought on “Keroncong Sepanjang Jalan

  • July 9, 2009 at 2:23 am
    Permalink

    iya,kami tumbuh mekar… walaupun kurang gizi… hahahaha… hampura ah baraya,nuhun perkawis ieu tos di angkat….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial