Ngahadi : Dari Wonosobo Mengaliri Nusantara

Begini rasa tuan, pendiriannya penyanyi
Rupa hinaan, selalu kami alami

Ooo, kebanyakan orang, suara bagus di puji puji
Suara buruk terus di caci
Di pandang rendah sekali

Di sana jenuh, Di sini pun mengatakan benci
Pada umum selalu di hina
Begitu nasib penyanyi..

 

Ngahadi
Ngahadi

Lantunan ‘Nasib Penyanyi’ yang kerap kali didendangkan menjadi salah satu lagu inspirasi bagi sosok Ngahadi, lelaki kelahiran Wonosobo, 71 tahun lalu. Menimba ilmu musik keroncong sejak bergabung dengan OK. Purnama dibawah pimpinan Alm. Bpk. Subarjo alias Sipon saat itu. “Saya belajar banyak dari Alm. Pak Sipon itu, Wah beliau gitar melodinya betul-betul hebat itu, padahal matanya sama sekali tidak bisa melihat… alias tuna netra” kenangnya. Berbekal ilmu keroncong yang diberikan, Ngahadi muda menjuarai beberapa ajang lomba vokal keroncong di Wonosobo.

Hingga usia yang tidak muda lagi, Ngahadi masih terlihat mahir dan trampil memainkan seluruh instrument yang ada dalam keroncong, dan salah satu kelebihan yang dimiliki adalah pandai membaca notasi. Teks-teks lagu-lagu partitur keroncong dari tulisan tangannya, menguatkan betapa Ngahadi sangat mumpuni dalam bidang musik, khususnya keroncong. Hal ini ditambah kemampuan menyanyinya manakala lantunan suara merdu beliau terdengar dalam melodius irama keroncong berikut lirik merdunya.

Saat ini di tengah-tengah beliau merenda hari-hari tuanya, Ngahadi tetap menjaga aliran keroncong terus mengalir kedalam jiwanya. Dengan beberapa rekan-rekan lama, ia kerapkali berkumpul untuk berdiskusi sambil bermusik dengan Bpk Sugiono,yang dulunya sempat memimpin OK. Aneka Jaya di Depok Tengah – Jakarta. Kadang pula ia menjadi pengasuh dan datang sesekali di undang ke tempat OK. Melati Putih pimpinan Bpk. Slamet Sudarmo di Jakarta.

Hidup bermusik yang tak pernah lekang

Deretan alat musik yang dijajar rapi, bass kontra, cello, cak dan cuk serta biola dan flute. Oh, itu cuma hobi kok,” jawabnya saat tjroeng bertanya mengani koleksi alat musik yang dimilikinya. “Dulu banyak yang latihan di rumah saya termasuk Hardiman BJ, pemain biola, saudara kandung Budiman BJ,“ lanjutnya mengenang beberapa personel yang pernah bermain besamanya.

Ingatan Ngahadi pada kawan-kawan bermain keroncongnya masih sangat tajam. Kenangan masa-masa dimana beliau bersama rekan-rekannya manggung dari satu anjungan ke anjungan lain di pentas TMII, juga beberapa kali sempat tampil live di RRI Bandung kala itu. “ Wah, kalau ingat Pak Giyono itu pamrihnya bagaimana saya betul-betul salut kepada beliau itu, sebelum berangkat beliau bersusah-susah menyiapkan bekal nasi, kopi dan penganan lain yang disiapkan istrinya” ujarnya . Bersama Sugiyono, berbagai pementasan keroncong dijalani, dan jika mendapat imbalan dibagi meski dengan potongan untuk operasional kelompok. “Yah kalau pada akhirnya dari pihak penyelenggara memberikan imbalan dan di potong langsung oleh pak Giyono yah saya tidak tahu tapi harusnya yah maklum saja, harus paham… toh setelah acara saya tidak ketinggalan dibayar itu” lanjutnya.

Memang tidak mudah mengelola latihan keroncong. Dengan kapasitas ekonomi yang terbatas seringkali membuat Ngahadi merasa berat. namun, hal itu tetap dilakukan karena bermain musik sudah menjadi bagian hidupnya. “ Kalau di tempat latihan judulnya ‘mbayar’ itu saya rasa wajar ya, begini, dulu banyak yang latihan di rumah saya. Lama-lama kok saya yah yang memang pas-pasan ini kelimpungan juga mesti memberikan sangu kepada tiap pemain,” katanya sambil tersenyum dan melanjutkan.

Atas kondisi tersebut Ngahadi mengambilkeputusan untuk mengubah manajemen tim-nya. “ Sampai akhirnya saya pindahkan semua alat saya ke tempat pak Slamet Sudarmo dan saya ikut gabung dalam OK. Melati Putih. Pak Slamet-lah yang mengatur semuanya termasuk menarik pungutan kepada tiap penyanyi yang ramai datang, nah kalau salah-salah orang yang kurang paham ya pasti terjadi keanehan kenapa nyanyi kok mbayar, padahal banyak dari musisi yang rumahnya jauh-jauh, dan pak Slamet sendiri bukan termasuk orang yang mampu mengendalikan semuanya, jadi disiasati seperti itu demi kepentingan bersama, mengganti transportasi dari para musisi, itupun sifatnya sukarela saja… tidak memberi pun tidak apa-apa, begitupun waktu dulu saya latihan di Cipete sana yah sama saja, sekali lagi kembali kepada pemahaman kita,” ujarnya lirih.

Semoga saja hal ikhwal ini tidak panjang berkelanjutan, sebab cuma akan menghambat kemajuan keroncong itu sendiri. Yang dibutuhkan sebetulnya cuma sedikit pemahaman dan pengertian, kira-kira begitu…” katanya sambil memetik cuk ditangannya,

Dari Wonosobo menuju Kompleks Dumptruck

Masa muda Ngahadi selain bergelut dengan keroncong, ternyata juga ia menjadi prajurit TNI. Di kesatuan Dumptruck TNI AD, Ngahadi telah melanglang buana ke wilayah Indonesia. Pekerjaan sebagai tenaga administrasim bahkan kadang juga menjadi sopir truk di kesatuannya menempa Ngahadi semakin kuat. Getaran mesin truck, dan dentingan mesin ketik yang datar-datar saja menjadikan Ngahadi semakin jatuh cinta pada keroncong, yang dinamis dan hidup.

Suara merdu dan piawai memainkan berbagai alat musik, menjadikan Ngahadi diminta untuk melatih anak-anak pejabat di kesatuan dumptruck, dan di sini ia bertemu gadis yang akhirnya menjadi istrinya. Pasangan ini dikaruniai 3 (tiga) orang anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan. Hidup dan cinta Ngahadi kini berlabuh di Kompleks Dumptruck TNI AD Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

Di rumah sederhana yang ditempati bersama istri tercinta, tersedia berbagai alat musik. Dari sinilah ia mengajak beberapa orang untuk bergabung. Dalam proses berlatih inilah lambat laun menemu beberapa generasi muda keroncong.

Regenerasi mungkin tidak pernah ada dalam agendanya, semuanya mengalir laksana air, manakala tidak ada lagi yang datang untuk memainkan alat-alat musiknya Ngahadi lebih memilih untuk meminjamkan beberapa alat musiknya kepada OK. Melati Putih, karena dirasakan lebih bermanfaat. Tapi siapa yang mengira hanya dengan cak dan cuk saja di iringi organ biasa, lagu keroncong tetap saja mengalun di suasana hari minggu, di pelataran rumahnya mengiringi suara merdu beliau menyanyi, dan warga kompleks dumptruck gang mesjid itu seperti sudah terbiasa, kadang malah seperti hiburan rutin membuat mereka berkumpul dan saling bernyanyi dalam suasana kekeluargaan yang hangat, hingga pada akhirnya generasi muda mulai tertarik dan mulai pula menggeluti keroncong tanpa paksaan seperti Sevi, 22 tahun, yang saat ini rutin menyanyi keroncong di kediaman beliau.

Dalam kesederhanaannya, satu hal yang disampaikan oleh Ngahadi, bahwa musik keroncong di masa yang akan datang sebisa mungkin melodinya terus di perdengarkan. Meski dalam membudayakan keroncong itu sendiri menurutnya janganlah ada terkesan ataupun unsur paksaan di dalamnya, karena semua itu kembali kepada ruang gerak cipta daripada manusia itu sendiri asalkan mau tetap eling dan waspada, mengerti darimana kita berasal. Sebagai manusia Indonesia, maka berperilakulah menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia. (clara)

Please follow and like us:

One thought on “Ngahadi : Dari Wonosobo Mengaliri Nusantara

  • August 10, 2009 at 10:54 am
    Permalink

    keroncong oke banget … mudah2an remaja sekarang bisa menerima musik ini… keren abisss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial