Artikulasi Keroncong

Edisi Lalu :

Pasca Kemerdekaan perkembangan keroncong tertunda karena terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Indonesia, misalnya DI/TII, RMS Maluku, dll. Akhirnya keroncong hanya berkembang di Jawa

 

Memasuki Tahun 1965, musik keroncong dilarang oleh pemerintah. Jenderal Hugeng dan Jenderal Pringadi dilarang bermain keroncong. Dengan alasan lagu dapat disalahgunakan untuk kepentingan politis.

Sesudah Tahun 1965, Orde Baru berstrategi ekonomi politik yang berbeda dengan sebelumnya. “Biarkan bunga mekar bersemi akan timbul bunga yang indah”. Ketika itu ada usaha untuk memperkuat jiwa patriotisme, nasionalisme. Kita ini sedang dalam tahap “nation building”, kata Bung Karno. Itu berarti kekayaan budaya harus menjadi aset yang dikelola oleh rakyat, karena rakyat pemilik budaya secara langsung.

Namun yang kini terjadi ? Ketika orang asing masuk dan membutuhkan hiburan, itu tak cukup hanya dengan gamelan, ataupun hanya dengan tarian Bali saja. Ada kepentingan pemberintah membuka komoditas setor turis.. Tetapi justri dengan turis, musik dikorbankan. Musik daerah, keroncong, lagu-lagu daerah menjadi korban agar orang-orang dapat berdansa. Musik dipaksakan menjadi aliran pop.

Lagu keroncong klasik kita popkan juga ? Yang pada akhirnya menurunkan kualitas keroncong yang memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi, nasionalisme. Kini keroncong sudah jadi musik yang dipaksakan menjadi pop.

Di Eropa wajar-wajar saja kalau mau berjoget/berpop ria, apalagi di Amerika. Pemilihan bintang keroncong/bintang radio hampir-2 punah. Kita terjebak menghasilkan keroncong yang rendahan. Maka marilah menyanyi keroncong dengan kualitas yang tinggi. Keroncong yang sebenarnya adalah tinggi dengan fundamen kuat untuk naik ke jenjang lebih tinggi sulit kita dapatkan lagi. Padahal dengan musik keroncong dapat meningkatkan kualitas musik Indonesia seperti layaknya klasik eropa. Eropa klasik saja tercipta di akhir abad 16 menginjak abad 17, sejalan dengan Revolusi Borjuis di Perancis yang menuntut kebebasan. Itu artinya mereka mengalami kemajuan di bidanb musik karena pertahanan nilai-nilai klasik yang tinggi itu.

Lalu bagaimana dengan keroncong kita sekarang ? Kebutuhan bermusik di Jakarta dengan struktur masyarakat Jakarta yang heterogen, yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Mayoritas Jawa, Sunda, dan luar seperti Cina Musik tradisional yang ada belum mampu menyatukan bangsa kita. Namun masyarakat di Jakarta mencari jalan dengan arus baru yaitu membawa musik portugis. Ternyata orang di Jakarta dapat menyambutnya dengan baik. Akulturasi walau tidak mudah prosesnya, harus dengan jalan panjang. Mengapa akulturasi tersebut berada di jalan yang panjang ? Ada beberapa alasan, diantaranya :

  1. Periode pertama, yaitu adanya proses pengenalan dengan kenyataan terbatas pada penamaan musik portugis, belum pada penguasaan teknis dan dalam menyanyikan Fado.

  2. Penamaan keroncong berlangsung dari abad 16-19 di Batavia : Keroncong Portugis menjadi Keroncong Betawi Asli.

  3. Armada Portugis sebelum abad 19 diusir Belanda. Orang-orang Malaka, Afrika, dan India tidak kembali ke tempa asal kelahirannya akibatnya :

  4. Banyak anak Indo Portugis/bekas budak Portugis yang sudah dimerdekakan yang disebut Mardijkers. Ada yang tinggal di Jakarta dan banyak dari mereka dari Afrika, India, dan Malaka tidak aneh disebut Black Portuguesa. Termasuk orang-orang Ambon yang berakulturasi dengan Portugis. Anak cucu mereka memberikan kebanggaan tetap melestarikan dan memainkan musik keroncong hingga sekarang, yang nota bene musik keroncong tersebut menjadi penyatu ciri khas bangsa indonesia.

Yang terpenting dari semua pernyataan di atas bahwa keroncong tumbuh menjadi musik yang menjadi ciri khas bangsa dapat diterima dan membangkitkan nasionalisme Indonesia yang tinggi hingga mencapai kemerdekaan Indonesia, sebagai modal dasar guna melangsungkan pembangunan.

Maka nilai-nilai luhur keroncong harus semakin diperhatikan agar mutunya senantiasa tinggi. Adapun hal yang harus diperhatikan adalah :

  1. Dari segi isi harus memberikan makna yang membangun negeri ini;

  2. Lirik yang dihadirkan hendaknya menghindarkan kesan rendahan dengan diksi (pilihan kata) yang tepat;

  3. Menghindarkan pesan moral yang kasar dan cengeng. Ini berarti bahwa para pencipta lagu/pemusik harus semakin mengasah kepekaan dengan kadar nilai seni yang tinggi. Tidak semata-mata asal jadi atau asal dibayar.

Rasa kecintaan terhadap negeri ini harus diungkapkan dengan bernilai/berkelas, berarti perlu adanya jiwa kepenyairan yang tinggi tidak asal jadi, tidak demi asal dapat uang. Menempatkan idealisme dan profesionalisme dengan proporsional. Dan musik keroncong seyogyanya harus semakin tinggi nilainya. Seperti pengungkapan pantun dengan nilai sastra yang tinggi.

Dengan demikian berarti kita menghargai proses dari perjalanan panjang proses akulturasi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia bagi kehidupan sekarang dan masa depan. Semoga. TAMAT.

 

Kampung Tugu, 15 Juni 2008
Centre of History, Art & Culture Studies

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial