Telomoyo , Kalau syair lagu diserahkan ke penyanyi
Bermula dari sebuah pertanyaan, mengapa lagu Kr. Telomoyo syairnya ada dua macam, sebut saja syair pertama dan syair kedua. Syair pertama yang mengandung kata Telomoyo dan syair kedua bahkan tanpa kata Telomoyo (lihat kedua syair di bawah).
Pertanyaan berikutnya, dari kedua syair itu mana yang benar? Hal lain yang aneh dari lagu Kr. Telomoyo ini, sama sekali tidak menceritakan apa Telomoyo itu. Ini berbeda dengan lagu Bengawan Solo yang bercerita tentang bengawan tersebut, atau Kr. Bandar Jakarta yang memang menceritakan situasi pelabuhan yang terletak di Jakarta itu.
Pada lagu Telomoyo tidak ada cerita tentang Telomoyo yang sebenarnya nama gunung di Jawa Tengah. Bahkan pada syair kedua sama sekali tidak ada kata Telomoyo.
Mungkin pembaca mengalami hal yang sama, mempunyai pertanyaan yang sama, menemukan kebingungan dan penasaran yang sama.
Mencari jawaban atas pertanyaan ini kemudian membawa ke suatu kenyataan bahwa ternyata banyak lagu yang seperti ini, banyak lagu yang judul lagu sama sekali tidak mencerminkan isi lagunya. Isi lagu sama sekali ’tidak nyambung’ dengan judulnya, dengan bahasa gurau boleh dikata judul lagunya ’judul-judulan’. Contoh beberapa lagu yang isi syairnya tidak sesuai dengan judulnya, Jali-jali, Dayung Sampan, Kicir-kicir, Sapu lidi, Kr. Kemayoran.
Jawaban kemudian ditemukan. Lagu-lagu tersebut diciptakan pada tahun 20-an. Pada masa itu syair yang paling populer adalah pantun. Maka kebanyakan lagu mempunyai syair berupa pantun. Seperti kita ketahui pantun terdiri dari dua bagian, bagian pertama berupa sampiran dan bagian kedua merupakan isi. Sampiran merupakan kalimat yang indah dan boleh dikata tidak ada artinya, contoh : ”Ribu-ribu tuan anak menjangan”. Isi pantun berupa kalimat yang mengandung arti dan pada akhir kalimat mempunyai vokal yang sama dengan sampiran. Dalam contoh ini, ’isi’ pantun adalah : ” Biar seribu melarang jangan” atau di pantun lain ” Biar seribu dibilang jangan ”. Sampiran dan isi mempunyai ’bunyi’ suku kata terakhir yang sama, dalam hal ini ”an”.
Karena syair lagu berupa pantun dan pantun itu mudah untuk membuatnya, maka syair yang berupa pantun bisa dibuat oleh siapa saja termasuk penyanyinya. Syair lagu dibuat sesuai keperluan, sesuai situasi saat itu. Misalnya kalau anak muda (bujangan) yang menyanyikan, maka syair bisa berbunyi :” Paling enak si mangga udang, pohonnya tinggi buahnya jarang. Paling enak si orang bujang, pergi ke mana tiada yang melarang”.
Kadang pantun yang sangat disenangi waktu itu akan ’muncul’ di berbagai lagu, misalnya : ” Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umurku panjang boleh kita bertemu lagi”.
Pada waktu penulis masih kecil, tahun 65-an. Penulis ingat waktu itu ada suatu pentas musik yang dihadiri oleh berbagai cabang suatu partai. Tiap cabang menyanyikan satu bait lagu yang berisi pantun yang memuji cabangnya, atau malah isinya gurauan. Maka lagu tersebut bisa diulang-ulang, dinyanyikan berbagai cabang partai tersebut dan tentunya pantunnya berbeda-beda. Alhasil suasana menjadi semarak, karena tiap wakil cabang berusaha membuat pantun sebaik mungkin.
Proses penciptaan lagu Telomoyo demikian pula. Karena syair lagu berupa pantun yang bebas dibuat oleh si penyanyi, maka kemudian nama pengarang lagu entah sengaja atau tidak, tidak dicantumkan. Suatu hal yang justru membuat kita kehilangan jejak tentang siapa pengarang lagu-lagu yang sangat indah dan abadi tersebut.
Dengan temuan jawaban seperti ini, maka kita tidak perlu lagi menanyakan mana syair Telomoyo yang asli bukan ?
Hm, kalau syair lagu diserahkan ke penyanyi.
(Widarto)
Telomoyo (Syair versi-1)
Hasrat hati ingin berlagu Membawa Telomoyo nama lagunya
Reff : Oh oh inilah keroncong asli sejak jaman dulu kala Untuk menghibur hati pendengar semua.
Keroncong Telomoyo tetap kan bergema. Hati yang sedih tuan, kembali gembira
|
Telomoyo (Syair versi-2)
Bagian I. Ribu ribu anak menjangan Jiwa manis indung sayang anak menjangan
Reff : Hai, jiwa manis indung sayang anak menjangan Turun kesawah tuan hai memakan padi
Rama-rama nona manis dipinggirlah kali Yang baju merah taun manislah sekali
Bagian II. Biar seribu melarang jangan Jiwa manis indung sayang melarang jangan
Reff : Hai, jiwa manis indung sayang melarang jangan Kalaulah cinta tuan, pastilah terjadi
Dari Malang nona manis ke Surabaya Kalaulah pulang nona bersamalah saya
|
terima ksih, sangat membantu sekali.
apa lagi postingan selanjutnya?