Marco Marnadi : sang pemberontak keroncong

“Karena ada indikasi keroncong mau punah maka kami bersama kawan-kawan membuat keroncong gaya kami, yang akhirnya dikenal dengan nama Congrock atau keroncong sak karepe. Karena pemainnya bukan dari basic keroncong”
Demikian papar Marco Marnadi, salah satu pilar Group Congrock dari Semarang. Congrock, sendiri menjadi sebuah kata yang menohok dalam kosa kata keroncong, karena sering diidentikkan dengan Keroncong Rock, sebuah kondisi yang bisa dikatakan memberontak terhadap image keroncong yang lemah lembut, mendayu-dayu dan bikin ngantuk. Dan Congrock sebagai sebuah grup musik, tidak jauh dari nuansa tersebut, di mana Congrock lahir sebagai sebuah kegelisahan anak-anak muda yang sudah kehabisan tantangan dan akal dalam bermusik.
“Kelahiran Congrock berawal dari kejenuhan mahasiswa Universitas Tujuhbelas Agustus (UNTAG) terhadap kesenian, karena di Semarang mereka sudah mentok. Di mana main musik apa pun selalu juara. Akhirnya kawan-kawan ini menggarap keroncong sesuai dengan alam anak muda dan saat itu belum ada yang berani menggarap hal tersebut. Keroncong dipilih sebagai perwujudan ketidakpuasan anak muda akan irama yang selalu mendayu dan monoton serta dipadati dengan aturan-aturan yang membuat orang takut berekpresi,” papar Marco mengenang sejarah lahirnya Congrock.
Jiwa yang gelisah
Marco Marnadi pada masa mudanya bergulat dengan dunia musik bersama kawan-kawan mahasiswa di Untag, Semarang. Eksplorasinya dalam bermusik membawa grup musik yang digawanginya berkali-kali menjadi juara dalam event lomba musik. To be number one, tidak selamanya menggembirakan, karena berangkat dari kondisi itulah Marco merasa masih ada yang kurang. Di atas langit masih ada langit, begitulah pepatah China yang berputaran di dalam kepalanya.
Kegelisahan menemu bentuknya ketika berbenturan dengan realitas musik keroncong yang menurutnya adalah asli Indonesia yang tengah mengalami masa surut. Pergumulan Marco dalam bermusik akhirnya terjawab ke dalam misinya bersama Congrock, ”Misi kami jelas, kami ingin bermusik sebebas mungkin, serta menjawab ramalan kepunahan keroncong. Kami ingin menunjukkan bawha keroncong mempunyai karakter yang sangat luas dan bisa dibawa kemana saja. Dan jika keroncong digarap sesuai dengan jamannya, maka tak perlu ada rasa kekhawatiran kehilangan para pemain dan penikmatinya. Keroncong bisa hidup di segala jaman,” jelasnya kepada Tjroeng.
Geliat Marco Marnadi dengan Congrock mendapat tentangan. Bahkan ia dianggap sebagai pemberontak dan perusak pakem keroncong. Tidak banyak pemusik atau penyanyi keroncong yang bisa memberikan apresiasi atas kiprah Marco, dari yang sedikit antara lain ibu Waldjinah, (alm) Andjar Ani, dan (alm) Kelly Puspito.
Pakem, penjara dan Jas Merah
Hambatan dalam musik keroncong menurut Marco ada pada masyarakat keroncong itu sendiri. Banyak pecinta keroncong tidak menginginkan musik keroncong berkembang, sehingga tidak banyak orang yang berani berinovasi untuk bermain keroncong yang lepas dari kemauan tetua keroncong. Di sisi lain, PAKEM keroncong juga menjadi hambatan terbesar, di mana disiplin pakem yang ditranformasikan oleh para punggawa keroncong berhenti pada pemilihan jenis alat musiknya seperti cak, cuk, cello, bas bethot, biola, flute dan gitar. Jenis alat musik lain seolah ditabukan, dan dianggap sebagai bukan keroncong. Sementara Marco melihat bahwa banyak alat musik lain bisa dimainkan untuk menambah kekomplitan irama yang dihasilkan sesuai dengan tuntutan jaman.
Pada sisi ini, Marco melihat pakem yang dipahami oleh sebagian orang keliru namun telah terlanjur dianggap sebagai kebenaran. Pakem pada akhirnya menjadi penjara bagi pecinta musik keroncong, yang berakibat pada lambatnya produktivitas lagu-lagu keroncong baru.
Menyikapi situasi ini, yang dikembangkan oleh Marco bersama Congrock memasukkan model irama rancak bebas, namun tidak meninggalkan karakter keroncongnya. Sehingga kolaborasi antara modern dan tradisi lebih kental dan menjadi paduan yg unik. Selain itu, aransemen keroncong yang cenedrung monoton dan nglangut bisa digarap sesuai dengan era nya. Dengan suguhan musik keroncong yang tidak asing, anak muda dan masyarakat umum yang semula tidak mengenal keroncong menjadi senang dan sangat menggemari. Respons generasi muda dan masyarakat umum sangat positif atas kehadiran ”keroncong pemberontakan” ini.
Keluar dari ”penjara” keroncong berbuah manis bagi Marco. Bersama Congrock 17, ia bisa berkeliling Indonesia pada tahun 1980-1990-an. “Bahkan, ketika kami keliling Eropa hingga Suriname, tanggapan masyarakat internasional pun sangat positif. Di Suriname misalnya, keroncong yang biasanya hanya disaksikan oleh orang Indonesia yang ada di sana, ketika Congrock 17 mengadakan pagelaran bisa menghadirkan seluruh suku yang ada di negeri tersebut,” jelas Marco dan berdasar pengalaman tersebut, ia sangat optimis akan masa depan keroncong.
Jangan melupakan sejarah, begitu pesan Bung Karno. Pesan tersebut menghunjam kuat dalam diri Marco. Menyoal pengkategorian keroncong yang sedang hangat dibahas. ”Kami mau bebas dari belenggu, meski kami juga tidak mau melupakan sejarah. Keterbelengguan sudah pasti ada, karena induk organisasi pun sudah mengkotak kotakkan irama tersebut. Diantaranya dengan pengkategorian Keroncong asli, keroncong kreatif dan keroncong inkulturasi. Selama ada pendefinisian seperti ini, maka proses kreativitas itu akan terbelenggu. Para pencipta lagu yang berusaha membuat karya keroncong yang disesuaikan dengan jamannya tak akan bisa dikatakan keroncong,. Padahal irama keroncong hanya satu, yaitu yang ada di Indonesia. Kalo mau keaslian keroncong, mestinya lebih memilih keroncong Moresko atau Keroncong TUGU, ketimbang keroncong yang dimainkan sekarang ini. Karena keduanya lebih tua,” gugatnya.
Upaya menggalakkan keroncong
Kegelisahan seorang Marco Marnadi pada perkembangan musik keroncong begitu kuat. Gagasan-gagasannya disalurkan melalui banyak media, terlebih posisinya sebagai Ketua dewan Kesenian Semarang memberikan ruang lebih banyak untuk semakin bekerja mengembangkan kesenian, temasuk keroncong tentunya.
“Langkah untuk mengembangkan keroncong, kita harus bisa membuat irama yang sesuai dengan jamannya. Berani bereksplorasi, berani nyempal dan lagunya lebih disesuaikan dengan irama sekarang,” begitu strategi yang dipilih oleh seorang Marco demi mengembangkan keroncong. Di samping keberanian dalam bereksplorasi, Marco juga mendorong semakin aktif-nya kegiatan keroncong dengan menggalakkan acara dan pagelaran keroncong. Di samping itu, ia juga membuat jaringan dengan perusahaan untuk menggarap aktivitas keroncong yang rutin termasuk kepada media baik cetak maupun elektronik. Di Semarang kini sudah terdapat agenda acara keroncong seperti di Waroeng Keroncong di TBRS, Gebyar Keroncong di Museum, Keroncong Live dengan Radio Idola di hotel dan cafe, Keroncongan Live di RRI Semarang, Keroncongan di TVB, Keroncongan di TVRI Jateng, Keroncongan di TV Cakra. Dan “Pada saat ini, kami menggarap keroncong melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk mewajibkan kepada seluruh hotel dalam satu minggu ada hari keroncong,” lanjutnya.
Selain mendorong munculnya kebijakan dan upaya perlindungan terhadap musik keroncong, Marco bersama Congrock telah membuat sekitar 40 lagu keroncong, sementara untuk lagu-lagu keroncong hasil mengaransir lagu lagu yang sudah ada berjumlah lebih dari 300 lagu.
Pergumulan hidup Marco Marnadi yang keras dalam bermusik khususnya musik keroncong memang menuai banyak reaksi. Namun semua karyanya bukan untuk merusak keroncong, tetapi sungguh Marco ingin mengabdikan hidupnya bagi keroncong dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih pas dengan suara hatinya, meski dijuluki sebagai sang pemberontak. (mboets2000)
BIODATA
Nama | : | Marco Marnadi |
Istri | : | Ninik Wahyu Adhiningsih |
Anak-anak | : | Ayunita Anzani Rahmadiah
Zulmar Akbar Maghreza Raka Akbar Ardiansyah Rizki Akbar Ardiansyah |
Hobby | : | Musik dan organisasi |
Aktivitas | : | Ketua Dewan Kesenian Semarang
Redaktur Budaya Koran Wawasan Semarang Ketua Yayasan Kebudayaan Indonesia Presiden Komunitas Wartawan Hiburan Ketua Pengamen Semarang |