Keroncong Sebagai Ruh Kelembutan
Tulisan ini adalah resonansi dari gelaran pertunjukan musik keroncong ‘Doea Orkes Kerontjong di Boelan Empat. Acara berformat lesehan ini adalah acara rutin yang diselenggarakan Taman Budaya Jawa Tengah. Untuk edisi kali ini berlangsung sehari sebelum peringatan hari Kartini. Orkes keroncong Satria Muda Solo pimpinan Bp. Darmakno S.Sos dan Orkes keroncong Husada Nada dari Sragen pimpinan dr.Hj. Ismail Joko Sutrisno didaulat sebagai pengisi acara malam itu.
Setelah menyimak hampir satu jam, pikiran saya tergelitik untuk menyangkal ‘tradisi’ yang ada di dalam masyarakat, bahwa keroncong adalah salah satu jenis musik yang pas untuk kaum tua saja. Karena apa yang saya dapati di lokasi pertunjukan tidak seperti itu. Kalau tua secara umur saya sangat menyangkal hal itu. Tapi kalau tua secara pemikiran, bisa dianggap ya. Karena memahami satu jenis kebudayaan musik, termasuk musik tua sejenis keroncong memang agak rumit dan tidak instan. Dari teknik musikalitas hingga pemahaman historisnya. Apalagi kalau ada yang berpendapat musik keroncong membikin ngantuk. Sangat dangkal sekali pendapat seperti itu.
Kecurigaan saya mengarah kepada politik pencitraan diri yang dilakukan industri musik. Maksud saya begini. Untuk memudahkan masyarakat membeli kaset, di dalam toko kaset tersebut sudah selayaknya disediakan kota-kotak yang berbeda-beda pula. Nah disinilah salah satu fungsi dari politik pencitraan diri. Keroncong yang selama ini adalah bentuk musik, dipersempit lagi dan diberi embel-embel, musiknya orang tua. Tak ubahnya musik dangdut, yang sampai sekarang diidentikkan dengan musiknya kaum bawah. Padahal kenyataan lapangan tidak selalu seperti itu. Jangan-jangan ini hanya strategi pasar musik industri? Supaya masyarakat tetap terjebak pada situasi seperti itu dengan dalih untuk memudahkan konsumen membeli kaset.
Politik pencitraan diri saya ambil dari istilah di era kampanye pilpres beberapa waktu lalu. Salah satu calon pasangan disinyalir menggunakan kekuatan pencitraan ini untuk menarik suara yang ada di dalam masyarakat. Pencitraan identitas memang tidak sulit dilakukan dan tidak sulit pula untuk mendapatkan ‘amin’ dari masyarakat. Nah gejala yang terjadi sekarang adalah bahwa generasi muda dididik untuk sekedar mengamini saja apa yang sudah ada sebelumnya. Lebih khusus lagi terhadap budaya musiknya. Seperti ini misalnya. Punk adalah musik para pemberontak, pop melayu adalah musik mellow, dangdut musik kampungan, blues akar dari segala jenis musik sekarang, dan keroncong adalah musiknya orang-orang tua. Setelah tahu pengkotakan tersebut tidak ada upaya maksimal dari generasi muda untuk berusaha membedah dan keluar dari kotak itu untuk menemukan apa terjadi sebenarnya di dalam kotak tersebut, atau sekedar untuk bertanya apa isi dari kotak tersebut?
Telaah yang ada hanya didominasi oleh rangkaian teknis saja. Tidak ada kelanjutan atau tindakan apa yang bisa dilakukan untuk tahu apa musik keroncong itu. Sekedar memainkan tanpa memahami apa yang ada di dalam musik keroncong? Yang tersirat bukan tersurat. Hal ini juga saya alami sebagai generasi muda. Atau memang keroncong adalah hanya salah satu ‘cara’ untuk menyikapi musik atau suara ketika itu? Karena sepertinya keroncong benar-benar tidak berkutik melawan arus industri. Padahal apa yang saya dapatkan di panggung keroncong ini adalah kekhasan yang luar biasa. Keroncong bisa berbicara nasionalisme dengan kelembutan tersendiri. Keroncong bisa mengutarakan cinta, kesedihan, kesenangan juga lewat coraknya sendiri. Keroncong juga bisa masuk ke ranah pop lewat aransemen pop keroncong. Bisa juga menyelinap diantara gamelan Jawa lewat langgam keroncong. Atau pergi ke luar negeri sejenak melalui alunan stambulnya.
Rupanya hal seperti ini yang terlewatkan dalam kebudayaan keroncong. Dan sepertinya keroncong tidak memberikan sumbangsih terhadap peradaban Indonesia. Benarkah seperti itu? Saya rasa tidak. Karena orang Portugis ketika itu tahu, betapa lemah lembutnya nenek moyang kita menyambut kedatangan mereka. Sehingga ketika harus terjadi percampuran budaya, keroncong lahir dan berhasil mewakili bentuk kesantunan tersebut. Dengan mengambil idiom gamelan Jawa namun memainkannya dengan alat-alat dari luar. Betapa tolerannya kita terhadap bangsa asing. Betapa kita mencintai mereka.
Ternyata bukan musikalitas saja yang harus dipahami, tetapi ada konsekwensi nilai. Nilai yang bisa diambil dari musik keroncong, untuk membantu Indonesia berbenah menjadi bangsa yang benar-benar memiliki kelembutan tapi tetap tegas di dalam pendirian. Bukan lantas mengantuk lalu tidur untuk waktu yang lama.
Apalagi ketika media sudah mulai terbuka sekarang. Entah stasiun tivi, media cetak, atau internet. Keroncong bisa beradaptasi. Saya yakin sangat bisa.
Keroncong bukan sekedar pencitraan diri atau kedok untuk menutupi kebringasan orang Indonesia. Karena kita adalah bangsa yang beradab dan tahu tata krama untuk menghormati sesama. Keroncong bukan situs purbakala yang benar-benar mati dan membatu. Tapi ia adalah salah satu ruh yang dimiliki Indonesia sebagai pelengkap kebudayaannya. Ruh integritas sosial yang berupa kelembutan. Seperti itu menurut saya.
Didik Wahyu Kurniawan, mahasiswa etnomusikologi ISI Surakarta