Gerenyem Nilem: Angin Segar dari Bandung
Beberapa bulan yang lalu penulis pertama kali melihat penampilan Gerenyem Nilem, sebuah grup musik keroncong yang semua personilnya merupakan anak-anak muda Bandung. Aransemen lagu, alat musik, bahkan kostum dan gaya pemusik-pemusiknya agak berbeda dari grup keroncong kebanyakan. Mereka memberi nuansa Sunda yang cukup kental dalam karya-karyanya mereka, dengan dimasukkannya empat alat musik sunda dalam musik mereka, yaitu: suling sunda, kendang sunda, rebab, dan sadatana.
Gerenyem Nilem awalnya terbentuk sebagai sebuah grup gamelan wayang. Dianggotai oleh 11 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) jurusan karawitan angkatan 2008 yang merupakan sekumpulan teman kelompok belajar. Grup ini terbentuk sejak September 2008 dan sempat tercerai-berai pada awal Januari 2009 dan hanya menyisakan lima orang saja. Hingga pada akhirnya di bulan yang sama, salah satu personilnya, Marcel, mengusulkan agar mereka mulai menggarap music keroncong. Sejak saat itu terbentuklah gerenyem nilem sebagai sebuah grup musik bergenre keroncong.
Nama “Gerenyem Nilem” (GR) diambil dari bahasa Sunda. Secara sastra, kata GR mengandung arti yang mengarah pada sebuah ativitas seksual. Tetapi kemudian direinterpretasi oleh GR sebagai sesuatu yang “pelan namun pasti”. Dalam pengertian secara bahasa, gerenyem berarti berbisik, tidak jelas., samar Dan nilem adalah ikan kecil yang licin dan gesit. Sehingga menurut mereka, walaupun GR hanyalah sebuah grup musik yang tidak jelas (samar), tetapi mereka juga gesit, dan akan berjuang setahap demi setahap. Pelan tapi pasti.
Acara perayaan mahasiswa angkatan baru bertajuk Sapu Nyere menjadi pementasan perdana mereka, seminggu setelah grup ini terbentuk. Mulailah mereka merekrut anggota baru sampai 11 orang. Lagu pertama yang mereka garap adalah langgam Sangkuriang—sebagai bentuk perpaduan antara musik keroncong dengan budaya Sunda—dan lagu Indonesia Pusaka. Pada saat itu hanya cak dan suling yang merupakan milik pribadi. Sisa alat yang lain merupakan pinjaman. Bahkan kostum pun seadanya. Sampai-sampai tiga personil mereka tampil agak nyeleneh dengan dua orang yang hanya menggunakan celana pendek dan seorang yang menggunakan kostum manusia purba hasil berburu di lemari sebuah kamar kost yang sudah tidak berpenghuni. Walau demikian, gaya nyeleneh inilah yang mengundang apresiasi penonton pada saat itu. Walaupun ada pula penonton yang mengkritik mereka lebih cocok menjadi grup lawak karena tampilan mereka yang membuat penonton tertawa. Diakui bahwa penampilan seperti itu sengaja dilakukan untuk menutupi kekurangan mereka akibat minimnya persiapan dan pembelajaran yang hanya satu minggu.
Sejak penampilan perdana mereka, timbul rasa optimis dan mulailah mereka melebarkan sayap dengan menambah personil menjadi total 13 orang, yaitu: Anjil, Acut, Chubby dan Puput pada Vokal, Yeyes pada cak dan Marcel pada cuk, Gempur dan Willy sebagai gitaris, Kisrun pada bass, Abreng pada sadatana, Rais pada suling sunda, Fahmi pada kendang, dan Delu memegang rebab. Ditambah dua orang lagi yaitu Jenal sebagai manager, dan Razi sebagai soundman.
Hingga saat ini mereka sudah berpartisipasi dalam 27 acara, diantaranya adalah Bandung lautan onthel 31 Januari 2010, Pesta Buku Bandung 18 Februari 2010, Festival monas juli 2010, dan sebagainya.
Belajar berkeroncong mereka akui dilkakukan secara otodidak. Mereka membaca buku, mendengarkan banyak lagu-lagu keroncong, berkonsultasi pada dosen-dosen musik di STSI mengenai teori-teori pola permainan keroncong, dan beberapa kali bertukar pikiran dengan beberapa penggiat keroncong di Bandung. Selebihnya, mereka menganalisis sendiri pola ritmis keroncong, harmonisasi dan sebagainya.
Ketika Tjroeng bertanya apa hambatan mereka dalam berkeroncong, jawaban pertama mereka adalah tidak lengkapnya peralatan musik yang mereka miliki, sehingga mereka selalu harus mencari pinjaman ketika akan berlatih dan pentas. Kekurangan dana adalah kuncinya. Tetapi sedikit demi sedikit, dari yang hanya memiliki dua alat keroncong, hingga kini mereka telah berhasil memiliki cak, cuk, suling, rebab, dan gitar. Sedangkan kontra-bass mereka akui sebagai bantuan dari seorang teman produsen alat musik keroncong di Solo. Sisanya masih mereka pinjam dari teman-teman yang lain.
Tanggapan dari penonton yang tidak selalu positif terkadang juga menjadi duka dalam perjalanan berkeroncong mereka. Pada suatu waktu mereka pentas pada sebuah acara pernikahan. Ternyata mayoritas penonton tidak suka keroncong, melainkan dangdut. Hingga penonton meneriaki GR bahwa keroncong adalah musik untuk orang jompo. Selain itu, beberapa penggiat keroncong senior juga tidak selalu menerima musik mereka secara positif. Karena dianggap kurang memiliki warna keroncong maupun langgam, seseorang pernah menyebut musik mereka musik gado-gado, bukan keroncong. Tak pelak, hal ini terkadang membuat mereka kurang percaya diri.
Dukungan dari teman-temanlah yang selama ini terus memotivasi mereka. Walaupun ada penggiat keroncong yang tidak menyambut mereka dengan positif, namun ada pula yang justru terus mendorong mereka berkarya. “Apapun yang orang bilang tentang Gerenyem Nilem, bagi saya mereka tetap keroncong”, Kata salah seorang pecinta keroncong yang menyambut baik kehadiran GR di dunia perkeroncongan di Bandung.
Di bawah ini adalah beberapa kutipan wawancara Tjroeng dengan GR:
Tjroeng : “Kalau GR boleh berandai-andai, music keroncong mau dibawa ke arah mana sih ?”
GR : “Sayyidina Ali pernah berkata, ‘Didiklah anakmu sesuai zamanya’. Dalam hal berkeroncong, karena seni bersifat dinamis, kami juga akan membawa keroncong sesuai dengan perubahan zaman. Dengan terus bereksplorasi dan berinovasi: melakukan akulturasi dengan musik-musik jenis lain dan musik-musik yang diminati oleh masyarakat umum, serta mengawinkan keroncong dengan berbagai alat musik lain. Di sisi yang lain, harus ada orang-orang yang tetap mempertahankan keroncong dengan bentuk yang sesuai dengan pakemnya, agar terjadi keseimbangan, tanpa harus menutup mata dan telinga akan keberadaan kelompok-kelompok keroncong seperti kami. “
Tjroeng : “Apa harapan dan cita-cita GR?”
GR : “Secara umum, kami berharap agar keroncong dapat diterima kembali oleh masyarakat umum. Secara khusus, kami ingin menjadi grup keroncong parahyangan. Dan kalau bisa, kami ingin berkeroncong terus sampai nafas terakhir kami.”
Tjroeng : “Apa pesan GR untuk para pecinta keroncong dan pembaca Tjroeng?”
GR : “Terus berjuang! Walaupun sulit memasyarakatkan sesuatu yang sudah dianggap kuno oleh masyarakat di tengah globalisasi budaya dan modernisasi di zaman sekarang, tetapi kita harus tetap berjuang! Jangan lupa untuk mulai membidik media komunikasi, karena merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran budaya. Mau tidak mau, suka tidak suka, globalisasi dan modernisasi akan masuk. Mari kita hadapi dengan mengeluarkan segenap kreativitas kita.
Kata-kata penuh semangat itu mengakhiri wawancara saya dengan Jenal, Sang manager GR. Masih terngiang-ngiang dalam kepala saya kalimat-kalimat penuh semangat yang dilontarkan selama wawancara. Sebuah janji terlontar dari mulutnya:
”Dan untuk hari esok dan seterusnya, kami akan terus mempertunjukan hasil karya kami.” ?
-66-
nice post