Gesang dan Strategi Kemanusiaan


Sekitar 25 tahun yang lalu, sebuah taman untuk mengabadikan sosok Gesang, salah satu maestro musik keroncong yang dimiliki Indonesia di bangun di kawasan taman satwa taru jurug, atau lebih dikenal dengan kebun binatang Jurug Solo. Rasa penasaran saya menuntun untuk sekedar menengok seperti apa bentuk penghargaan itu karena saya tidak cukup puas hanya melihat tampilan gambar di internet. Akhirnya setelah sekian lama kesempatan itu tiba. Di sela-sela kekosongan jam pelajaran di kampus saya menyempatkan berkunjung ke taman Jurug yang lokasinya tak jauh kampus. Sosok Gesang yang mulai saya kenal dengan Bengawan Solonya itu, seperti sihir yang berhasil menyita perhatian dunia. Maka pantaslah kira saya sebagai generasi muda yang seharusnya mengemban misi kebudayaan ini patut berbangga dengan kemunculan taman Gesang ini.

Agak janggal bagi saya memang. Mengapa taman ini dibangun di dalam kawasan kebun binatang. Apakah tidak ada tempat yang lebih ‘terbuka’ bagi publik. Terlebih lagi bagi publik Solo. Karena belakangan taman Jurug sendiri mulai kurang diminati oleh para wisatawan. Kalau pun ada, pasti yang ada di benak pengunjung hanyalah ingin melihat keberadaan hewan-hewan langka yang di kebun binatang itu. Atau menyaksikan acara-acara yang digelar di dalamnya saat momen-momen tertentu.

Saya mencari-cari di mana taman Gesang itu. Setelah melihat papan penunjuk, akhirnya ketemu. Gerbangnya terlihat begitu megah dengan arsitek ala Jepang. Karena taman ini merupakan sumbangan atau bentuk kerjasama dari pemerintah Indonesia dan perhimpunan dana gesang di Jepang. Setelah memasuki gerbang, saya disambut prasasti yang ditanda tangani oleh perwakilan Jepang dan walikota Surakarta kala itu. Dengan kata lain, taman ini tercipta berkat ‘kebaikan’ orang-orang Jepang yang menghormati Gesang beserta karya-karyanya.

Ada jembatan kecil disana. Setelah itu terlihat sebuah patung kepala Gesang dengan notasi lagu Bengawan Solo dibawahnya. Menghadap dan memandang tajam ke barat. Arah matahari terbenam.

Namun kondisi taman itu sendiri sudah mulai tak terurus. Mungkin juga karena pengaruh pesona taman Jurug yang juga semakin memudar. Banyak lumut disana sini. Aula atau pendopo tempat biasa menggelar acara juga kurang terawat. Ada ‘bangkai’ pesawat yang dijadikan museum di sebelahnya. Namun itu sepertinya tak menarik minat bagi pengunjung.

Memang taman Jurug terletak di kawasan sungai bengawan Solo. Mungkin dari sinilah ide pembangunan taman gesang ini muncul. Dengan harapan, jika suatu saat Gesang meninggal seperti sekarang ini, karyanya yang begitu fenomenal Bengawan Solo, bisa dikenang oleh siapapun, tidak hanya sebagai lagu, tapi pengunjung yang datang benar-benar bisa melihat dan tahu bagaimana kondisi sungai Bengawan Solo yang digambarkan begitu mempesona di dalam lirik lagunya.

Gesang tidak hanya bisa dipahami sebagai seorang seniman keroncong. Gesang bisa dipahami sebagai model atau sistem dari strategi kebudayaan yang akhir-akhir ini kurang begitu dimengerti oleh Indonesia, mungkin juga dunia. Jika melihat kondisi bangsa yang rawan perpecahan akibat isu yang mengatasnamakan politik bahkan agama atau wilayah kekuasaan tertentu, maka yang bisa menjembatani itu semua mungkin adalah strategi yang mungkin saja ‘tidak sengaja’ dicetuskan oleh Gesang ini. Dia bisa menembus masa kolonialisasi Jepang dengan kehalusan budinya dalam memainkan musik keroncong. Menggunakan nada-nada sederhana untuk menghipnotis pemikiran orang-orang Jepang. Padahal, kalau mau dicermati di dalam liriknya, tidak ada satupun yang menyinggung atau merayu orang-orang Jepang.

Bengawan Solo itu lahir dari kekaguman manusia terhadap alam yang diciptakan untuk manusia. Aliran sungai itu bak menghantar orang-orang Jepang yang datang sebagai penjajah merasa menemukan kembali ‘kemanusiaannya’. Mungkin juga ini salah satu indikasi kenapa Jepang tidak mau berlama-lama disebut sebagai ‘penjajah’ di Indonesia. Strategi kebudayaan ala Gesang ini berhasil memanusiakan manusia. Manusia Indonesia dan manusia Jepang. Gesang bukan hanya pahlawan nasional, pahlawan keroncong, pahlawan Jepang, pahlawan internasional. Tapi dia adalah pahlawan ‘kemanusiaan’ meski sekarang sudah mulai dilupakan oleh banyak orang.

Bukan sekedar misi budaya hura-hura. Namun benar-benar misi budaya berbasis ‘manusia’. Saya rasa, musik keroncong bisa menjadi media linier untuk memanusiakan manusia Indonesia….

Didik Wahyu Kurniawan, Mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta.

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial