ZAMAN PRA KERONCONG II

Asuhan : Wawang Wijaya

Pada pertengahan abad ke 19 di Eropa berkembang musik-musik yang bercorak romantis. Oleh karena itu masa itu disebut juga sebagai Zaman Romantisme. Pada zaman tersebut lahirlah genre musik kamar (Chamber Music) yang merupakan gabungan dari beberapa instrument gesek misalnya violin, viola , cello serta double bass, kadang-kadang ada penambahan piano serta flute. Chamber Music ini bisa terdiri dari dua instrument (Duet) sampai dengan sepuluh instrument (Decet). Banyak grup-grup Chamber Music terbentuk untuk menghibur kalangan bangsawan pada masa itu.

Angin pengaruh aliran musik romantis tersebut juga akhirnya melanda koloni-koloni bangsa Eropa. Salah satu di antaranya adalah Hindia Belanda (Indonesia) yang merupakan jajahan Belanda. Banyak kaum hartawan dari Belanda yang membawa pemain musik kamar ini berikut alat-alat musiknya. Para pemain musik ini kemudian diminta bermain musik untuk mengiringi acara dansa mau pesta-pesta yang diselenggarakan oleh “tuan-tuannya”. Selain kalangan istana, mereka juga mengundang orang-orang kaya non Belanda dalam acara-acara itu. Hal tersebut kemudian ditiru oleh bangsawan-bangsawan istana dan orang-orang non Belanda, khususnya orang-orang Tionghoa yang kemudian membentuk grup Chamber Musik sesuai dengan cita rasa mereka. Grup-grup yang bermunculan ini bermain pada “jamuan balasan” atas undangan dari para pembesar Belanda tersebut. Untuk tujuan itu dari pihak Belanda “totok” memasukkan peranan double bass serta cello kedalam folk music orang-orang keturunan Portugis (lihat keterangan dibuletin perdana) dan menjadikannya sejajar dengan Chamber Music, atau dapat dianggap sebagai musik kamar dengan ciri tersendiri. Dengan demikian musik yang tadinya digolongkan sebagai “street music” telah dinaikkan ‘kelas’nya menjadi musik kamar dengan versi “Krontjong Orkest”

Di lain pihak, selain “Krontjong Orkest” yang sudah timbul pada saat itu, kalangan orang-orang Tionghoa, juga membuka ‘jalan’ bagi satu jenis musik tertentu yang telah berasimilasi dengan kebudayaan Jawa yang akhirnya berkembang menjadi musik Gambang Keromong . Selama tahun 1870-an, lagu-lagu yang biasa dimainkan adalah lagu-lagu klasik dan lagu-lagu Portugis yang telah diberi aksen bahasa Melayu, yang pada perkembangannya mendominasi musik-musik setempat (urban music). Sekitar tahun 1891, atas prakarsa Auguste Mahieu (seniman) dan dibantu oleh Jap Goan Thay (pengusaha) diikuti oleh A Th Manusama (pengarang) dan Otto Knapp (pengatur keuangan), didirikanlah sebuah panggung sandiwara/komedi dengan cerita-cerita yang diambil dari opera-opera Barat juga kisah Seribu Satu Malam, dengan memakai pengantar bahasa Melayu karena penggemar sandiwara komedi ini adalah orang-orang non Belanda yang lebih memahami bahasa Melayu serta menggunakan lagu-lagu setempat (urban music) yang lebih mengena di hati para penonton dari pada lagu-lagu Belanda, lagu-lagu klasik atau lagu-lagu Portugis. Adapun musiknya diambil dari jenis Moresco yang bernama Prounga (Solo) yang bersifat mendayu-dayu dan melankolis, sementara kata-katanya diambil dari pantun-pantun, syair-syair serta gurindam yang biasanya dinyanyikan secara bergantian antara penyanyi solo laki-laki dan perempuan (yang disebut dengan istilah ’jual beli pantun’) tergantung pada sudut pandang dan gaya cerita yang dibawakan, apakah skenarionya sedih, gembira dan sebagainya. Karena sandiwara komedi ini berasal dari Istambul, dan memakai bahasa Portugis yang kian lama kurang dimengerti oleh rakyat setempat, maka Komedi Istambul dengan dialek setempat lahir di persada musik dan sandiwara di wilayah Hindia Belanda pada akhir abad ke 19 dan lagu-lagu yang dibawakannya disebut sebagai Lagu Stambul Komedi.

Kalau kita lihat secara kronologis, di mana pada tahun 1870-an beragam musik berkembang pesat di Batavia tanpa “mengenal lelah” dengan banyaknya grup-grup Chamber Music terbentuk yang memiliki ciri khas ras-ras yang terlibat didalamnya, dan dilain pihak, terjadinya asimilasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya, musik-musik inilah yang sesungguhnya “memperkaya” kebudayaan Indonesia tanpa melupakan sisi positif maupun negatifnya. Timbulnya icon baru yang dinamakan “BOEAJA KRONTJONG” yang kalau ditimbang lebih berkonotasi ‘ill negative” – daripada positif. Untuk membahas mengenai hal ini, saya akan mengupasnya di kolom yang lain. Begitu juga dengan Gambang Kromong, karena kolom ini hanya membahas mengenai sejarah perkembangan keroncong saja.

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial