Anak-anak Muda Desa Masa Kini Penggemar Keroncong
“Menulis tentang keroncong pasti memakai kata mendayu, mengalunâ€, demikian komentar seorang teman ketika mengetahui saya sedang mengerjakan tulisan ini. “Mendayu†dan “mengalun†memang tidak bisa dipisahkan dari irama musik keroncong. Tetapi tidak seluruhnya benar. Simaklah Keroncong Adi Luhung, di sela irama mendayu dan mengalun khas musik keroncong, anda akan menemukan hentakan-hentakan irama jazz dengan nada-nada minor sebagai ciri khasnya. Pemainnya sendiri dengan bangga menyebut aliran musiknya adalah “keroncong jazz blues†(aliran apalagi ini…?).
Tidak Biasa Justru Karena Biasa
Kelompok musik ini memang sangat tidak biasa. Muncul dari tempat yang tidak biasa; bukan di lingkungan kota besar dan gudang seniman melainkan di desa yang didominasi oleh selera dangdut dan karawitan jawa. Dilatih bukan oleh pelatih biasa; bukan ahli musik melainkan oleh orang yang tidak pernah belajar musik secara formal, bahkan tidak bisa membaca notasi balok. Oleh pelaku yang tidak biasa; bukan oleh para buaya keroncong atau seniman-seniman intelek kelas menengah, tetapi anak-anak remaja yang kesehariannya juga menikmati musik pop (termasuk Ayu Ting-Ting) serta masih sekolah dan sebagian lainnya bekerja serabutan, bahkan bekerja kasar sebagai kuli bangunan. Dalam dunia musik khususnya keroncong, mereka menjadi fenomena yang tidak biasa karena dilakukan oleh orang biasa di lingkungan yang biasa. Sungguhpun demikian, prestasi mereka cukup luar biasa. Dari pentas keliling pada acara hajatan-hajatan di kampung, mengisi acara warung keroncong yang diselenggarakan Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI) Semarang, tampil di beberapa stasiun TV lokal, hingga akhirnya diminta untuk mewakili karesidenan Semarang dalam acara event Lomba Musik Keroncong Remaja tingkat Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Jateng dan menyabet juara I mengalahkan kelompok keroncong dari kota besar yang terkenal sebagai gudangnya para buaya keroncong yaitu Solo.
Di tengah riuhnya budaya pop dan instant sekarang ini, ketika organ tunggal mendominasi pementasan-pementasan di berbagai daerah, ketika hampir semua anak muda belajar musik eletrik dan berkiblat pada grup-grup band atau dangdut, para remaja dari kecamatan Limbangan, kabupaten Kendal, Jawa tengah ini menolak menggunakan alat musik eletrik dalam bermusik. Mereka berkumpul setiap malam Sabtu di rumah kosong milik warga untuk berlatih keroncong dari alat-alat musik akustik seperti cuk/kencrung, cak, biola, flute, bass betot, gitar dan cello. “Bermain musik keroncong ternyata mengasyikkan mas, apalagi dengan alat musik asli. Unik dan tidak pasaranâ€, demikian kata mereka ketika ditanya alasannya. Apa yang anak-anak muda lakukan ini tentu merupakan awal yang sangat baik bagi tumbuhnya tradisi bermusik yang sejati, bermusik sebagai media menyelaraskan diri dengan Semesta sehingga segala perilaku diri kita selalu mendapatkan bimbingan Jiwa Semesta. Dalam tradisi Jawa lama dikenal ungkapan “jumbuhing jagad cilik lan Jagad Gedhe†harmoninya dunia kecil (diri manusia) dengan Dunia Besar (Semesta, Zat Yang Maha Esa dan Kuasa, Sang Khalik/Pencipta). Para leluhur kita di Nusantara mencontohkan bagaimana menggapai harmoni itu salah satunya adalah dengan bermusik. Suasana bermusik yang sangat jauh berbeda dari nuansa entertainment seperti sekarang ini. Dalam bermusik untuk pencapaian harmoni dengan Sang Khalik, yang dijadikan pertimbangan utamanya adalah sejauhmana kegiatan bermusiknya mengantarkan kedamaian, ketentraman dan keutuhan diri pada pemusiknya dan pendengarnya. Maka jangan harap Anda akan menemukan nuansa mesum misalnya, dalam tradisi musik ini. Inilah yang sering kita katakan bahwa seni (musik salah satunya) adalah tuntunan, bukan tontonan.
Bermula pada tahun 2008 ketika tiga kelompok keroncong kampung (tentu saja orang-orang tua) dari dua kecamatan yang bertetanggaan berkumpul berlatih keroncong bersama. Anak-anak muda sekelilingnya yang selama ini sudah biasa berlatih dangdut atau nongkrong-nongkrong di pinggir jalan sambil bergitar, tertarik ikut ngumpul dan berlatih. Hingga pada akhir Agustus 2010 anak-anak muda tersebut memilih berkumpul diantara mereka sendiri untuk berlatih bersama setiap sekali dalam seminggu. Ketika terjadi bencana letusan Merapi, kelompok keroncong anak-anak muda ini menyempatkan diri keliling kampung mengamen untuk menggalang dana bagi korban bencana.
Pada akhir 2010 kelompok anak-anak muda ini mendapat dukungan dari Polsek Kecamatan Limbangan dalam kerangka program Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Lembaga mendampingi latihan rutin kelompok ini, termasuk memberikan penyemangat latihan bagi para anak muda yang ikut dalam grup musik ini. Forum ini juga melibatkan tokoh masyarakat lainnya (sekalipun bukan pemain musik) untuk mendukung pengelolaan kelompok musik Adi Luhung. Hingga pada 17 Desember 2010 berdirilah secara resmi Kelompok Keroncong Adi Luhung. Saat ini, personil Adi Luhung berjumlah 11 orang yang terdiri dari 7 pemusik, 2 penyanyi dan 3 pengurus organisasi, dan 1 orang pendamping latihan. Pemusik dan penyanyinya semua berumur dibawah 25 tahun.
Belakangan, Kelompok Adi Luhung juga mengadakan semacam kaderisasi dengan memfasilitasi sekelompok bocah-bocah remaja yang masih duduk dibangku sekolah menengah pertama untuk mulai berkumpul dan berlatih musik keroncong bersama. Kali ini benar-benar mulai dari nol karena sebagian besar anak-anak tersebut bahkan baru pertama kali memainkan alat musiknya. Salut untuk kesabaran dan semangat Adi Luhung, selain berprestasi juga mau membimbing adik-adik yuniornya!
Ketika malam semakin larut di desa Limbangan, bebunga kopi harumnya menyebar ke berbagai penjuru, berbaur dengan harum bunga “preh†dari kuburan umum desa, sambil menikmati sesapan kopi Gentong khas racikan pak Bewok di ujung kampung, terdengar irama yang mendayu dan mengalun musik keroncong, dan hentakan-hentakan aroma jazz-nya… Hidup ini apa lagi…?
(Widi Heriyanto)
Menyenangi atau membeci suatu jenis musik atau lagu-lagu, berkaitan dengan selera, jadi sifatnya sangat subyektif, tidak dapat dipaksakan. Berjalan secara alami menuruti lingkungan dan kebiasaan yang ada. Lagu musik pop yang dibawakan oleh grop musik Peterpan atau oleh group musik Radja di Indonesia sangat digandrungi dikalangan anak remaja atau anak bau gede (ABG), tetapi mungkin lagu-lagu group tadi tidak dikenal sama sekali oleh masyarakat Suriname. Masyarakat disana boleh jadi lebih mengenal artis Waljinah dengan lagu “Walang Kekeknyaâ€. Kesimpulannya, secara global, mana yang lebih punya pamor atau lebih populer? Musik pop atau musik keroncong? Silahkan pembaca mempersepsikan sendiri untuk menjawab pertanyaan lain yang telah disebutkan diatas.
Sementara itu, menurut seniman keroncong Imam D. Kamus, salah satu pendiri kelompok Sarekat Kerontjong mengatakan keroncong merupakan musik yang mempunyai ciri khas tersendiri. Dia ingin mengembalikan musik keroncong asli yang memiliki idealisme tersendiri.
sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada penulis artikel tentang ok. Adi luhung.
Perlu saya tinjau ulang bahwa ulasan tersebut ada yang benar dan ada juga yang kurang benar sehingga membuat kami (personil/musisi ok. Adi luhung) merasa kurang nyaman.
Untuk informasi lebih akurat mengenai cikal bakal, dan sejarah berdirinya ok. Adi luhung sampai sekarang kami persilahkan untuk kontak langsung dengan saya ( Wawan, personil ok. Adi luhun ) di nomor hp 085641351243 atau fb Wawan Wise.
Terima kasih, salam keroncong.
kren min
terima kasih sudah di sharee min