Kroncong, Kroncong Asli, dan Langgam Jawi
F.X. Widaryanto
“Wah, pagi-pagi kok sudah kroncongan.” Ungkapan ini tidak otomatis berarti ‘bermain kroncong,’ seperti halnya ’gitaran’-bermain gitar, ’kendangan’-bermain kendang, dsb. ‘Kroncongan’ dalam kultur Jawa memiliki makna ganda; yang satu ‘bermain kroncong,’ dan yang satunya lagi adalah ‘lapar.’ Perut kroncongan adalah perut yang berbunyi karena lambungnya kosong, bukan karena ada gerak bayi yang mungkin ada di dalamnya.
Tulisan ini tidak akan berbicara tentang ‘kroncongan’ yang berarti ‘perut kosong,’ meskipun di negeri yang telah berusia 63 tahun ini masih banyak orang yang kroncongan perutnya karena sulit mendapat kesempatan untuk mencari sesuap nasi. Namun kroncongan dalam arti yang sebenarnyalah yang kebetulan penulis temukan pada sebuah kamus musik terbitan Harvard University Press yang berjudul The New Harvard Dictionary of Music yang diedit oleh Don Randel. Sebuah kamus musik yang berwibawa di kalangan etnomusikolog dunia, karena sudah mulai menyentuh musik etnis non-Barat yang di masa lalu selalu dianggap inferior.
Kroncong dimasukkan dalam kategori New Music, yang secara umum dibagi tiga yaitu, kroncong, dang-dut, dan pop. Ketiganya memiliki akar pra-elektronik yang dirujuk dari perkembangan lagu dan ensambel petik abad ke-17 dari komunitas pelaut dan pedagang Portugis di pantai barat laut Jawa. Akar dang-dut juga bisa ditemukan pada kroncong seperti halnya dalam nyanyian Melayu-Arab yang diiringi oleh orkes melayu atau iringan terbang dan suling yang banyak ditemui di Sumatera Utara dan pantai barat Semenanjung Melayu sekitar awal abad ke-18. Bentuk-bentuk awal kroncong maupun pop tersaji dalam sajian di restoran atau di jalanan bagi sekelompok penduduk kota bangsa Indonesia sendiri maupun bangsa Eropa kala itu.
Yang menarik adalah bahwa kroncong itu pertama kali berkembang dalam fenomena mengindonesia yaitu kala dibawa ke pusat-pusat masyarakat urban di kota-kota besar lewat radio dan piringan hitam pada awal abad ke-20. Awal tahun 1980-an, seiring dengan turunnya popularitas dang-dut, ada realita baru yang justru membuat bentuk-bentuk kroncong ataupun yang berkaitan dengan kroncong terangkat.
Ada subgenre kroncong yang hanya berbeda dalam penggunaan teks bahasanya, terlihat dalam beberapa sajian yang disebut dengan kroncong asli yang beberapa di antaranya dekat dengan ciri-ciri dari beberapa lagu dari apa yang disebut dengan langgam jawi. Keroncong asli teks lagunya mengunakan bahasa Indonesia sedangkan langgam jawi menggunakan bahasa Jawa. Ada beberapa subgenre dari langgam jawi yang menggabungkan instrumen-instrumen atau larasan gamelan Jawa dengan ciri-ciri perwujudan kroncong, sementara beberapa subgenre yang lain secara lebih gamblang merupakan kroncong, yang dibawakan dalam bahasa Jawa. Dalam beberapa hal, campuran lagu-lagu gamelan telah mempengaruhi subtipe keroncong lainnya dalam isi teksnya, gaya melodiknya, serta iringannya, yang menjadikan kroncong Indonesia salah satunya merupakan imitasi dari langgam jawi.
Inilah yang kemudian, di Jawa Tengah, keroncong terasa erat dengan fenomena larasan gamelan pada nada-nada vokal penyanyinya, namun bila terajut dalam larasan gamelan yang seutuhnya dalam ensambel uyon-uyon atau klenengan, vokalis keroncong masih terasa belum masuk benar dan tenggelam dalam realita polifonik gamelan itu sendiri. Kalangan pengrawit menyebutnya dengan ‘suaranya masih numpang.’
Cobalah kita suatu saat mendengarkan dengan cermat para vokalis keroncong yang sudah mendarah daging dengan genre kroncong ini, terutama bila mereka nembang dalam larasan gamelan murni. Inilah uniknya, dari salah satu penelitian etnomusikolog (sayang penulis tidak ingat namanya), karakteristik larasan gamelan pada vokal keroncong di Jawa Tengah memang telah membedakannya dengan kroncong di luar sentra-sentra kehidupan gamelan Jawa. Kepedulian dari para peneliti Barat inilah seharusnya semakin memicu kita untuk lebih mencintai keroncong, tentunya dengan adaptasi perubahannya dalam dinamika kehidupan kita dewasa ini.
Penulis adalah pecinta kroncong dan pengajar tari di STSI Bandung