Tatang Muntari: Berjuang dengan Senapan dan Flute

Tidak ada kata berhenti untuk seorang pejuang. Lahir pada 22 Agustus 1935, Tatang Muntari, Purnawirawan TNI yang terakhir berdinas di Kodam Siliwangi ini, selain turut mengangkat senjata untuk membela negara, juga mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk mempertahankan eksistensi musik keroncong. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi kecintaannya terhadap musik, membuatnya masih tetap aktif bermusik hingga kini. Alat musik yang menjadi spesialisasinya adalah flute. Tatang mengisahkan, saat masih duduk di Bangku SR (Sekolah Rakyat- setingkat SD), dia dan teman-temannya memang diajarkan bermain seruling bambu untuk memainkan lagu-lagu Jepang, yang saat itu menjajah Indonesia. Bahkan sampai sekarang dia masih bisa membawakan lagu-lagu tersebut. Tahun 1957, Tatang muda mulai memiliki Flute sendiri. Dari situ ia mulai mengembangkan bakatnya dengan bergabung pada beberapa grup musik yang ada saat itu. Flute itu menjadi saksi setia didalam kisah hidupnya. Mengikuti setiap langkah dan suka duka dalam hidupnya, flute itu seolah pusaka hingga ia keberatan jika ada orang lain yang menyentuh, apalagi memainkannya. Flute bersejarah yang pertama kali dimiliki tersebut sampai sekarang masih dalam keadaan baik, bahkan selalu ia bawa tatkala harus melatih keroncong ataupun manggung di berbagai event.

Di kalangan pemain keroncong di Bandung, nama Tatang Muntari tidak asing lagi. Selain melatih, dia juga aktif bermain di beberapa grup. Beberapa orkes keroncong yang masih mengandalkan kemahirannya di antaranya Cipta Selaras, Sederhana Bandung, Sederhana Cimahi, Harapan Cimahi, Gema Awangga, Dewi Fortuna dan masih banyak lagi. OK Jempol Jenthik dan OK Unpar adalah dua buah grup yang dia latih dan diarahkan mulai dari nol. Dengan tekun dia memberikan dasar-dasar keroncong sampai pada akhirnya keduanya menjadi grup keroncong yang diakui eksistensinya. Orkes keroncong Palapa yang cukup legendaris juga merupakan grup yang dia rintis bersama tokoh keroncong Suwito Sudarman dan beberapa musisi lainnya.

Sebagai seniman musik, Tatang mewajibkan anak-anaknya bisa bermain musik. Hal ini tidak kemudian membuat dia mengharuskan 5 anaknya tersebut untuk ikut terjun dalam dunia yang digelutinya, meskipun beberapa di antaranya memiliki jiwa seni yang diturunkan oleh bapaknya. Dia tidak menyebutkan alasannya mengarahkan anak-anaknya untuk menggeluti pekerjaan lain.

Seiring berkembangnya musik keroncong, ia berpesan agar para seniman keroncong muda terus berprestasi. Perkembangan aliran-aliran baru keroncong sangat perlu didukung, dengan catatan tidak mengubah pakem musik aslinya, baik dalam intro maupun interludenya. Karena dari situlah penikmat bisa mengetahui jenis keroncong yang sedang dibawakan. Apabila pakem ini ditinggalkan, maka tidak akan ada bedanya lagi apakah musik itu berjenis keroncong, langgam atau stanbul. Yang ada hanyalah musik berirama keroncong. Demikian ia sampaikan berdasarkan pengamatannya, di mana sejumlah pemusik bermaksud menunjukkan kemampuan individunya (dalam bermusik), padahal itu melanggar pakem. (Wied)

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial