Festival Keroncong: Membranding Indonesia

“Festival adalah sebuah alat diplomasi,” begitu yang disampaikan oleh R Franki S Notosudirdjo, PhD atau akrab dipanggil Franki Raden kepada Tjroeng pada sebuah bincang-bincang di suatu sore. Franki Raden seorang  etnomusikolog internasional berpengalaman yang telah sukses menyelenggarakan festival di tingkat nasional maupun internasional. Sebagai etnomusikolog yang puluhan tahun tinggal di luar negeri untuk mengajar di berbagai universitas, Franki ingin mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya untuk mengangkat kekayaan budaya Indonesia.  Salah satu festival yang sukses dia selenggarakan adalah Festival Gotrasawala yang pertama kali diselenggarakan di tahun 2013.

Gotrasawala, yang dalam bahasa Jawa Kuna berarti pertemuan tingkat dunia (global gathering) merupakan festival seni yang digagas karena terinspirasi forum dunia yang diadakan pada abad 17 oleh Pangeran Wangsakerta yang saat itu memerintah kerajaan Cirebon. Forum Gotrasawala yang di masa Wangsakerta dilakukan selama dua tahun diikuti budayawan dari negara-negara Asia untuk membahas sejarah kerajaan Nusantara hingga sejarah dunia tersebut ingin dihidupkan lagi melalui Festival Gotrasawala.  Dalam festival tersebut berbagai pertunjukan ditampilkan di sore hari seperti pertunjukan musik, tari, drama sampai pemutaran film. Pada siang hari ada kegiatan yang lebih serius seperti seminar.

Khusus untuk pertunjukan musik, Franki membuat persiapan lebih. Dia memperkenalkan musisi terkenal Spanyol dengan musisi lokal Sunda agar mereka melakukan kolaborasi. Proses yang dimulai tahun 2013 tersebut memakan waktu dua tahun hingga mereka menghasilkan sebuah album yang diberi nama Gotrasawala Ensamble. Album tersebut diluncurkan di Eropa dan mendapat sambutan hangat di kawasan Eropa bahkan masuk dalam 20 daftar lagu terpopuler di European World Music Chart.

Belajar dan Belajar

Belajar dari keberhasilan Gotrasawala Ensamble, Franki optimis keroncong punya potensi untuk berkiprah lebih jauh di pasar World Music. World Music, salah satu genre musik yang merupakan alternatif dari genre musik populer seperti Jazz, Klasik, dsb. termasuk musik-musik tradisional yang indigenous ada di berbagai negara mulai berkembang dalam 10 tahun terakhir hingga nilai pasar musik ini mencapai 8 miliar dolar (10% dari total pasar musik) melebihi pasar musik Jazz dan musik Klasik yang cuma 3%. “ Kalau bicara musical resources, Indonesia adalah negara terkaya di dunia tentang musik. Kekayaan musik Indonesia bisa dibandingkan dengan satu benua Afrika. Kita punya ribuan musik tradisional dari Sabang sampai Merauke. Salah satunya yang bisa punya ekses ke pasar langsung adalah Keroncong. Keroncong punya potensi yang besar karena keroncong diatonis!. Kalau musik gamelan mungkin kurang familiar bagi telinga yang sering mendengar musik Barat.  kalau Keroncong bisa dipush, dia bisa jadi ujung tombak untuk merebut pasar yang 8 miliar tadi!” Tidak sebatas dampak pada budaya, Franki yakin, seperti di masa lalu, keroncong bisa berdampak secara ekonomi bila dirawat dan dimanfaatkan dengan benar. Ada ribuan orang yang mungkin dapat hidup dari industri yang dipicu oleh keroncong, entah dalam industri musik, pariwisata, atau industri lainnya.

Tidak sebatas dampak ekonomi, dalam sejarah Indonesia, keroncong juga memainkan peran politik  yang substansial. Di masa pra kemerdekaan pasca Sumpah Pemuda, pada saat para tokoh bangsa bergulat dengan identitas ke-Indonesia-an, keragaman dan kekayaan budaya Nusantara justru menimbulkan masalah tersendiri. Dalam perkembangannya, polemik kebudayaan yang terus berkembang tersebut juga mulai membahas musik identitas Indonesia di tahun 1950-an. Pada saat satu tokoh mengusulkan musik gamelan sebagai identitas bangsa Indonesia, maka dia mendapat pertentangan dari suku lain yang juga memiliki khazanah musik sendiri. Pada saat itulah seorang tokoh pemuda mengusulkan Keroncong sebagai bagian dari identitas musik Indonesia. Keroncong yang bertangga nada diatonis lebih berterima secara internasional (dibanding musik-musik tradisional Nusantara yang umumnya pentantonis). Meski diatonis, keroncong dapat dimainkan dengan unsur lokal daerah. Selain itu musik ini juga lebih diterima publik karena Keroncong lahir dan tumbuh dari rakyat awam bukan dari kalangan feodal.

Keroncong adalah Indonesia

“Keroncong sangat iconic untuk mewakili brand Indonesia. Ikon itu kan harus tunggal dan mewakili semuanya. Keroncong adalah musik yang dimiliki negara Indonesia dan tidak ditemui di negara lain. Begitu dengar keroncong, orang ingat Indonesia. Lalu, apa strateginya?” demikian papar Franki sekaligus menggugat. Baginya, Keroncong saat ini menjadi revolutionary call, sebuah seruan revolusi bagi segenap anak negeri.

Bagaimana mendorong ikon keroncong ini agar dikenal? Salah satunya dengan festival. Festival keroncong dimaksudkan sebagai upaya branding suatu negara dan harus berdampak global. Untuk itu perlu strategi khusus agar keroncong bisa dapat lebih diterima publik di luar negeri. Di tingkat internal (komunitas keroncong) perlu  pembenahan diri, salah satu persoalannya adalah karena pengetahuan kebanyakan kita tentang keroncong saat ini sangat fragmentaris.

Belajar dari festival yang digagasnya, dalam rangka mendorong keroncong menjadi brand Indonesia, Franki Raden menyodorkan beberapa strategi. Pertama bisa meniru strategi saat menciptakan Gotrasawala Ensamble. Keroncong ‘dititipkan’ pada seorang seniman yang sudah populer agar melakukan kolaborasi dengan musisi keroncong lokal untuk selanjutnya menciptakan karya baru yang dapat diluncurkan ke publik luar negeri. Dengan memanfaatkan kepopuleran seniman tersebut, maka keroncong dapat ikut dikenal secara luas; kedua dengan mengundang musisi-musisi luar untuk ikut belajar keroncong. Kalau perlu mengekspor keroncong ke luar negeri sehingga mereka makin familiar dengan iramanya dan ketiga, agar terjadi partisipasi aktif dari seniman dalam negeri, tidak ada salahnya dalam festival itu ada elemen kompetisi untuk memperebutkan sebuah penghargaan (award). Pengakuan sebagai pemenang sebuah lomba akan menjadi insentif bagi pelaku keroncong untuk lebih bergairah dalam menyukseskan festival.

Mengenai sponsorship, keroncong mungkin bisa mendapatkan sponsor dari pemerintah. Tapi untuk sponsor swasta, keroncong harus membuktikan terlebih dahulu bahwa event keroncong yang diselenggarakan memang mendatangkan keuntungan bagi pihak swasta yang berminat mendanai. Cukup banyak perusahaan yang memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bidang seni budaya, namun praktik di Indonesia, seringkali dana CSR hanya bisa diakses oleh pihak-pihak yang dekat dengan pengelola CSR suatu korporasi. Belum ada lembaga penyeleksi proposal seni yang independen seperti di Amerika.

Pada akhirnya, festival adalah sebuah alat diplomasi. Oleh karena itu diperlukan kajian yang serius sebelum gagasan tentang suatu festival itu bisa diwujudkan. Adalah sebuah kesalahan menyerahkan penyelenggaraan festival keroncong kepada event organizer tanpa dampingan yang memadai dari pihak yang dapat memandang  Indonesia dengan beragam perspektif, baik regional maupun kultural. Hanya dengan begini ke-Indonesia-an kita bisa kita hayati.

 

Sumber foto : https://id.wikipedia.org/wiki/Franki_Raden

Please follow and like us:

tjroeng

Tjroeng Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial