Memintal Benang Merah Keroncong

Keroncong Tanpa Dalam Rangka, adalah tajuk yang dipakai pada acara keroncong di SMP Santa Ursula Jakarta pada tanggal 28 Januari 2017 lalu. Gagasan tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan kehendak untuk bisa mengakomodir pecinta keroncong untuk tidak dibebani apa pun, selain memainkan dan mendengarkan keroncong, apapun coraknya, apapun sentuhannya. Nikmati dan Feel Free!!

Suasana bebas, membuka ruang ekspresi lebih luas bagi pegiat keroncong tanpa harus dihakimi sebagai penista keroncong atau apa pun sebutannya. Menikmati irama keroncong dengan bebas, demikian hakekat seni yang ingin dicapai. Musik keroncong sebagai seni yang memiliki keindahan dan seni yang memiliki tujuan yang positif menjadikan penikmat merasa dalam kebahagiaan (A.B. Garton). Pendapat tersebut dikuatkan oleh Ki Hadjar Dewantara di mana ia mendefinisikan seni sebagai perbuatan manusia yang timbul dari hidupnya, perasaan, dan bersifat indah sehingga dapat menggetarkan jiwa manusia. Getaran jiwa manusia yang seperti apa jika dikaitkan dengan music keroncong sebagai seni?

Keroncong Menembus Batas
Suster Windhi, Kepala Sekola SMP Ursula Jakarta memberikan penjelasan konkret mengenai tajuk Keroncong Tanpa Dalam Rangka yang diselenggarakan di Aula SMP Santa Ursula Jakarta pada 28 Januari 2017 lalu. “Bermula dari gagasan spontan dengan beberapa kawan yaitu keinginan untuk mengumpulkan kembali pecinta keroncong tanpa tujuan tertentu, selain merekatkan kembali persaudaraan satu sama lain sebagai pecinta music keroncong. Pendopo sekolah digunakan sebagai ajang temu karena dengan pertimbangan tempat tersebut mampu menampung kehadiran rekan-rekan yang akan hadir, juga strategis gampang dituju karena terletak di pusat kota,” paparnya.
Selain strategis, Suster Windhi melihat posisi sekolah sebagai ruang pendidikan dan medium pembelajaran yang bisa diandalkan untuk menularkan kecintaan musik keroncong pada anak-anak didik. Siswa bisa belajar secara formal dan berkelanjutan selaras dengan program sekolah yang disusun di awal tahun ajaran baru. Di sisi lain, sekolah juga netral tidak ada “muatan kepentingan tertentu” selain ingin agar peserta didik semakin mampu menghargai dan mengembangkan ragam musik Nusantara, khususnya musik keroncong sebagai asset Bangsa. Siswa diajak belajar untuk lentur, terbuka, serta adaptif terhadap perkembangan musik, termasuk music keroncong yang selaras dengan perubahan jaman. Siswa di SMP Santa Ursula Jakarta selama ini belum mempelajari secara khusus tentang keroncong, langgam dan stambul. Mereka masih belajar keroncong secara umum, lebih pada ciri khas music keroncong ditinjau dari “warna” musiknya yang khas. Musik keroncong dipelajari dalam pelajaran Seni Musik ketika membahas materi tentang ragam musik Nusantara.

Gugatan Pakem dan Jenis Alat Musik Keroncong, secara umum sudah didefinisikan pola baku sebagai keroncong, langgam, stambul dan ekstra (Lilik Jasqee), sementara Singgih Sanjaya memberikan warna yang lebih beragam, dengan mengajukan beberapa ciri music keroncong yang mencakup : a) Pembawaan Vokal (cengkok, gregel, nggandhul, portamento dan luk); b) Pola Irama (engkel, dobel, kothekan dan kentrung); c) Instrumentasi ( flute, biola, cak, cuk, gitar, cello dan bass); d) lagu (keroncong asli, langgam keroncong, stambul dan ekstra); e) harmoni (progresi akor dan jenis akor).
Pola tersebut menjadi ciri keroncong dan mentradisi. Dan, sebagai ‘tradisi’ maka keroncong memiliki pengikut ‘fanatik’, meski juga tidak kurang para ‘pemberontak’nya. Para ‘pemberontak’ ini sebagian berasal dari generasi milenial yang sudah mengenal begitu banyak jenis alat musia modern, di luar jenis alat music (asli) keroncong. Tutup Kuncoro, dalam skripsi-nya menyatakan bahwa, “Perubahan maupun pergeseran tersebut (keroncong-red.) diakibatkan dari perkembangan teknologi, yang berdampak pada penggantian instrumen dan perubahan struktur musikal dalam musik keroncong. Proses penggantian instrumen musik keroncong dengan instrumen modern, demikian juga perubahan struktur musikal, memunculkan bentuk-bentuk sikap penolakan akan hadirnya teknologi modern dalam musik keroncong oleh sebagian masyarakat pendukung musik keroncong.”

Melalui studi kasus terhadap satu group keroncong, Tutup Kuncoro mengungkap gejala-gejala sikap resistensi dari masyarakat subkultur musik keroncong terhadap bentuk pengaruh teknologi modern terhadap musik keroncong, yang dipahami sebagai ancaman dan perusakan orisinilitas musik keroncong itu sendiri. Kondisi ini disebutkan memunculkan benih-benih sikap resistensi gaya hidup yang diekspresikan pada gaya bermusik pada sebagian masyarakat pendukung musik keroncong.
“Para penghuni subkultur adalah mereka yang merawat hasrat menjadinya sedemikian rupa hingga senantiasa resisten terhadap budaya dominan.“ (Gahral, 2006:33) Resistensi terjadi tatkala niat mengusung sebuah gaya penikmatan estetika musik keroncong yang cenderung mempertahankan orisinilitas—keaslian repertoar maupun instrumen, dan menolak segala bentuk pembaharuan—improvisasi oleh produk-produk teknologi baru, dengan dalih merusak orisinilitas dan eksistensi musik keroncong. Pada kondisi ini lahir kaum fundamentalis keroncong, kaum yang menginginkan keroncong murni, tak terjamah pengaruh lain, dan segera akan menyingkirkan jika terdapat pengaruh lain yang melekat.

Benang Merah Keroncong
Kembali kepada upaya menelusur jejak unsur utama keroncong, dari ciri khas musical keroncong, yaitu: rhythm pattern (pola irama), gaya bernyanyi vokal (cengkok, gregel, luk, nggandul, dsb.), instrumentasi (‘keroncong asli’: flute, biola, cak, cuk, cello, gitar, dan bass. Unsur yang menjadi karakter keroncong yang paling dasar adalah rhythm pattern atau pola irama. Musik keroncong mempunyai banyak pola irama, seperti: irama engkel, dobel, kothek’an (di solo disebut ‘klasik’an), kentrung, sambyong, dan lain sebagainya.
Dari beberapa jenis pola irama tersebut yang tidak bisa dihilangkan adalah “pola irama engkel”. Yang paling kuat membentuk pola irama engkel ini adalah permainan secara ansambel dari instrumen “cuk”, “cak”, dan “cello”, permainan ketiga instrumen ini disebut “trio”, demikian dijelaskan oleh Singgih Sanjaya. Sehingga dengan demikian, “pola ritme engkel ketiga instrumen tersebut harus ada, walaupun tidak harus dengan instrumen cuk, cak, dan cello,” lanjutnya.
Jika, dan hanya jika “Pola Irama Engkel” disebut sebagai ‘DNA’-nya keroncong, maka sesungguhnya sudah tidak perlu para pegiat keroncong untuk ‘bertikai’, dan saatnya lebih focus membawa “Pola Irama Engkel” sebagai bekal utama kita menatap dunia yang lebih luas.

Menuju Pentas Musik Dunia
Dengan bekal pola irama engkel menuju pentas musik dunia, apakah cukup? Tidak, tegas Singgih Sanjaya. Musik keroncong ‘mendunia’ jika musik keroncong dari Indonesia ‘digemari’ oleh masyarakat dunia, sehingga jika masyarakat dunia belum ‘lega’ kalau belum mendengar/menyaksikan musik keroncong dari Indonesia. Seperti kita belum lega kalau mendengar/menyaksikan musik jazz yang main bukan orang negro (native) nya, walaupun secara teknis sudah mencapai ‘virtuoso’. Contoh lain bila kita menyaksikan/mendengar musik klasik, akan lega jika musisinya berasal dari Barat (terutama Eropa dan Amerika, tergantung siapa komposernya).
Idealnya, musik keroncong mendunia itu ada nilai ekonomisnya, artinya bahwa musik keroncong ‘laku’ dan dibutuhkan oleh masyarakat dunia, seperti halnya musik Latin. Mengapa musik Latin mendunia? karena ‘menarik’ secara universal, dan itu yang kiranya untuk kita capai.
Untuk menggapai pentas dunia, Singgih Sanjaya menawarkan 3 (tiga) strategi, yaitu :
Pertama, musik keroncong digarap dengan sentuhan gaya musik pop. Kondisi ini didasarkan pada realitas bahwa dari semua jenis musik di dunia, seperti: pop, jazz, klasik, etnis, dan sebagainya, yang paling mendunia adalah “musik pop”. Dengana demikian salah satu langkah supaya musik keroncong lebih banyak peminatnya sampai level dunia, musik keroncong digarap dengan sentuhan gaya musik pop. Dari sisi musikalnya, di antaranya: ritme, melodi, harmoni (jenis akor dan progresi akornya), timbre (instrumentasinya), dinamika, bentuk lagu, bahasa. Lagu-lagu Michael Jackson banyak yang “mendunia”, selain sisi musikal, lagu-lagunya mengambil tema yang lagi menjadi ‘isu’ pada masanya, dengan tema-tema seperti: perdamaian, krisis, bencana.

Kedua, adalah kolaborasi dan akulturasi. Melalui pendekatan yang telah dilakukannya, dibuat karya dengan membawa keroncong ke ‘musik serius’. Karya yang telah dibuat berjudul: Oboe Concerto for Orchestra with Keroncong Music, (sila searching di youtube: singgih sanjaya concerto) di mana Concerto adalah salah satu jenis penciptaan dalam musik klasik, di samping symphony, sonata, suita. Dengan kolaborasi ini, kita bisa berharap dari Indonesia (sebuah group keroncong dengan instrumen: cak, cuk, cello, gitar, dan bass) berkolaborasi dengan sebuah orchestra luar negeri.
Ketiga, campaigne atau kampanye serta berkarya. Dengan pengalaman mendapat mandat kehormatan dari Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan untuk menjadi conductor, composer, dan arranger dalam acarara ASEAN – Russia Youth Orchestra Concert, dalam rangka persahabatan negara-negara ASEAN dan Russia Music. Karya tersebut medley dari lagu-lagu Nusantara banyak menggunakan instrumen-instrumen etnis Nusantara (sila searching di youtube: Singgih Sanjaya – Nyanyian Negeriku (ARSO)). Dari pengalaman tersebut, sebaiknya melalui kesempatan yang ada dimulai memasukkan unsur keroncong. Dan lagu-lagu baru tentu saja menjadi point penting.

Dari tawaran tersebut, maka sangat ditunggu karya-karya musik baru dengan unsur pola irama engkel dengan sentuhan jiwa pop setidaknya menjadi salah satu cara memasukkan pintalan benang merah keroncong menembus dan mewarnai pentas musik dunia. Semoga. (hs)

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial